Jesus, I trust in You
Ada sejumlah
orang mempertanyakan tentang asal usul Adorasi Sakramen Mahakudus. Berikut ini
adalah ulasan ringkas tentang sejarah Adorasi Sakramen Mahakudus, yang
mengambil sumber utama dari uraian yang disusun oleh Fr. John Hardon, SJ,
Fr. Hardon
membagi sejarah perkembangan Adorasi sakramen Mahakudus dalam beberapa periode,
yaitu:
1. Zaman
para Rasul sampai awal Abad Pertengahan
2. Secara khusus masa heresi Berengarius sampai masa St. Fransiskus Asisi
3. Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente
4. Perkembangan Adorasi Ekaristi
5. Alasan perkembangan doktrin Ekaristi
6. Ajaran dari Magisterium Gereja
7. Rahmat melalui kemanusiaan Kristus
2. Secara khusus masa heresi Berengarius sampai masa St. Fransiskus Asisi
3. Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente
4. Perkembangan Adorasi Ekaristi
5. Alasan perkembangan doktrin Ekaristi
6. Ajaran dari Magisterium Gereja
7. Rahmat melalui kemanusiaan Kristus
Zaman para Rasul sampai awal Abad Pertengahan
Di zaman
para Rasul, kepercayaan akan kehadiran Kristus secara nyata di dalam Ekaristi
bertumbuh dari ajaran para Rasul, terutama, dari Rasul Paulus dan Rasul
Yohanes. Mereka mengajarkan bahwa Ekaristi adalah Yesus Kristus yang secara
nyata melanjutkan misi penyelamatan-Nya di antara umat manusia. Rasul Paulus
dalam suratnya menegur jemaat di Korintus, yang melakukan pemecahan roti dengan
cara yang menimbulkan perselisihan, padahal seharusnya Ekaristi adalah tanda
yang indah untuk kasih Agape (lih. 1Kor 11:26), yang mempunyai efek
mempersatukan Gereja sebagai satu tubuh (lih. 1Kor 10:16-17).
Demikian
pula, kita mengetahui bahwa Rasul Yohanes menyampaikannya secara cukup
eksplisit dalam Injilnya, yaitu dalam perikop tentang Roti hidup (Yoh 6).
Begitu eksplisitnya ajaran itu disampaikan, hingga banyak di antara para
murid-Nya saat itu, yang menganggap ajaran itu sulit untuk diterima, sehingga
mereka meninggalkan Dia (lih. Yoh 6:66). Hanya para Rasul-Nya, yang saat itu
diwakili oleh Rasul Petrus, yang tetap percaya kepada perkataan-Nya. Rasul
Petrus berkata, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah
perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau
adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh 6:68-69)
Setelah abad
pertama berakhir, St. Ignatius dari Antiokhia menulis surat yang memperingatkan
Gereja terhadap ajaran sesat Gnosticism, yang tidak percaya akan kehadiran
Kristus dalam Ekaristi. St. Ignatius mengatakan bahwa mereka ini beranggapan
demikian karena mereka tidak percaya akan ajaran para Rasul bahwa di dalam
Ekaristi hadirlah Kristus yang sama dengan Kristus yang hidup, wafat dan
bangkit dari kematian demi keselamatan kita.
Iman akan
kehadiran Kristus dalam Ekaristi menyebabkan banyak rahib di abad-abad pertama
(sampai pertengahan abad ke-3) menyimpan Ekaristi di ruang sel mereka, di
gua-gua, sebagaimana terjadi di Gereja Timur, yaitu di Palestina dan Mesir. Di
abad kedua, para Paus telah mengirimkan Ekaristi kepada para uskup sebagai
tanda kesatuan iman dan pada kesempatan tertentu, para Uskup melakukan hal yang
sama kepada para imam di bawah kepemimpinan mereka.
Ketika
kehidupan membiara tidak lagi terbatas dalam kehidupan pertapa tetapi kepada
kehidupan komunitas, para rahib mempunyai kebiasaan untuk membawa Ekaristi,
terutama saat bekerja maupun melakukan perjalanan. Hosti ditempatkan di tempat
kecil, atau di tas kecil yang kemudian dikalungkan di leher. Manuskrip Irlandia
dan Inggris menyebutkan kebiasaan tentang hal ini. St. Comgall (wafat tahun 601)
juga memberi kesaksian tentang hal ini.
Setelah
Konsili Nicea (325), Ekaristi mulai disimpan di gereja-gereja dan biara-biara.
Alasan utamanya adalah agar dapat disimpan bagi orang-orang sakit dan yang
sedang mengalami ajal, maupun untuk perayaan lainnya. Maka kesakralan Ekaristi
sudah diakui dan tempat penyimpanannya pun khusus agar terhindar dari
bahaya profanasi.
Sekitar
tahun 800-an, Sakramen Mahakudus disimpan di gereja di dekat altar itu sendiri.
Praktek menyimpan Ekaristi di biara-biara adalah kebiasaan yang universal
sehingga tidak ada bukti yang menyatakan hal yang sebaliknya, bahkan sejak
sebelum tahun 1000. Bahkan ada banyak peraturan tertulis yang masih eksis
sampai sekarang, yang mensyaratkan perlindungan terhadap elemen-elemen sakral
itu, “dari profanasi baik oleh tikus-tikus maupun dari orang-orang yang tidak
saleh.” Maka Ekaristi harus disimpan di tempat terkunci dan kuncinya tersimpan
di tempat yang tidak mudah dijangkau.
Referensi
tentang Sakramen Mahakudus jelas tertulis dalam riwayat St. Basilius (wafat
379). Dikatakan bahwa St. Basilius membagi Hosti Ekaristi menjadi 3 bagian,
bagian pertama dimakannya, bagian kedua diberikannya kepada rekan imamnya, dan
bagian ketiga ditempatkannya di tempat emas berbentuk burung merpati yang
digantung di atas altar.
Referensi
berikutnya adalah temuan di biara Benediktin di Monte Cassino, yang dihancurkan
di Perang Dunia II adalah dua buah tabernakel kecil kuno, yang terbuat dari
emas dan perak. Tabenakel itu adalah milik Paus Victor III (wafat 1087), yang
pernah menjadi rahib di biara tersebut sebelum dipilih menjadi Paus.
Secara khusus masa heresi Berengarius sampai masa St.
Fransiskus Asisi
Menjelang
akhir abad ke-11, kita memasuki era baru sejarah Adorasi Ekaristi. Sampai masa
itu, kehadiran Yesus secara nyata dalam Ekaristi tidak dipertanyakan dan sudah
dianggap umum dalam iman Katolik. Ekaristi disimpan di gereja- gereja, termasuk
kapel-kapel dan biara-biara. Namun kemudian revolusi menghantam Gereja ketika
Berengarius (999-1088), seorang pemimpin diakon di Angers, Perancis,
secara publik menolak bahwa Kristus secara nyata dan secara fisik hadir dalam
rupa roti dan anggur. Maka ada sejumlah orang yang percaya kepada idenya ini
dan mulai menuliskan bahwa Kristus dalam Ekaristi tidaklah sama dengan Kristus
dalam Injil, dan karena itu, Ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh hadir di dalam
Ekaristi.
Begitu
seriusnya kasus ini, sehingga Paus Gregorius VII memerintahkan Berengarius
untuk menarik kembali ajarannya. Ini adalah pernyataan definitif pertama Gereja
tentang apa yang selalu dipercaya, dan tidak pernah secara serius ditentang.
Paus Gregorius VII sendiri adalah seorang rahib yang menjadi Paus, yang imannya
akan Sakramen Mahakudus telah dipupuk selama bertahun-tahun dalam biara
Benediktin.
Ajaran Paus Gregorius
tentang Kehadiran Yesus secara nyata dikutip kata per kata oleh dokumen yang
ditulis oleh Paus Paulus VI, Mysterium Fidei (1965), untuk menghadapi
pandangan yang menentang Ekaristi di zaman kita, sesuatu yang sangat mirip
dengan apa yang pernah terjadi di abad ke-11:
“Aku percaya
di dalam hatiku dan secara terbuka mengakui bahwa roti dan anggur yang
ditempatkan di altar adalah, melalui misteri doa sakral dan perkataan Sang
Penebus, secara substansial diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus Tuhan kita,
yang sejati dan yang memberi kehidupan, dan bahwa setelah konsekrasi, di sana
juga hadir Tubuh Kristus yang sejati yang dilahirkan oleh Sang Perawan, telah
dikurbankan bagi keselamatan dunia, digantung di kayu salib dan kini duduk di
sisi kanan Allah Bapa, dan bahwa di sana hadir, Darah Kristus yang sejati, yang
mengalir dari lambung-Nya. Keduanya hadir bukan hanya sebagai tanda dan
ke-efektifan Sakramen tersebut, tetapi di dalam kenyataan yang sebenarnya dan
kebenaran dari kodrat dan substansi mereka.”
Dengan
pengakuan iman ini, maka gereja-gereja di Eropa mengalami apa yang disebut
dengan Eucharistic Renaissance. Saat itulah ditetapkan adanya
prosesi-prosesi Sakramen Mahakudus, rumusan doa-doa yang adorasi, umat didorong
untuk mengunjungi Sakramen Mahakudus, dst. Sejak abad ke-11 ini, devosi kepada
Sakramen Mahakudus dalam Tabernakel menjadi semakin dikenal.
St.
Fransiskus Asisi juga merupakan orang kudus yang mempunyai devosi kepada
Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Ia berkata:
“Kitab Suci
mengajarkan bahwa Bapa berdiam di dalam “terang yang tak terpahami ” (1Tim
6:16) dan bahwa Allah adalah Roh (Yoh 4:24) dan St. Yohanes menambahkan, “Tak
seorangpun pernah melihat Allah” (Yoh 1:18). Sebab Allah adalah Roh, Ia hanya
dapat dilihat di dalam roh; “Adalah Roh yang memberi kehidupan, daging sama
sekali tidak berguna” (Yoh 6:63). Tetapi Allah Putera adalah sehakekat dengan
Bapa dan Roh Kudus. Itulah mengapa mereka semua menjadi terkutuk, yang telah
melihat Tuhan Yesus Kristus di dalam kemanusiaan-Nya namun tidak melihat
ataupun percaya di dalam roh akan ke-Allahan-Nya, bahwa Ia adalah Putera Allah
yang sejati. Dengan cara yang sama, mereka semua terkutuk, yang melihat
Sakramen Tubuh Kristus yang telah dikonsekrasikan di altar dalam rupa roti dan
anggur oleh perkataan Sabda Tuhan kita di tangan para imam-Nya, dan tidak
melihat ataupun percaya di dalam roh dan di dalam Allah bahwa ini adalah
sungguh-sungguh Tubuh dan Darah yang kudus dari Tuhan kita Yesus Kristus.”
Maka tak ada
yang mengejutkan ketika Paus Urbanus IV di tahun 1264 kemudian menetapkan
perayaan Tubuh Kristus (Corpus Christi). Saat menentukan perayaan itu,
Paus menekankan akan kasih Kristus, yang ingin menyertai secara fisik sampai
akhir zaman. Paus mengatakan, “Dalam Ekaristi, Kristus di dalam hakekat-Nya
sendiri ada bersama kita.” Sebab “ketika mengatakan kepada para Rasul-Nya bahwa
Ia akan naik ke Surga, Ia berkata, “Lihatlah, Aku akan menyertaimu selamanya,
bahkan sampai akhir zaman” dan dengan demikian menghibur mereka dengan janji
yang besar bahwa Ia akan tetap ada dan bersama-sama dengan mereka bahkan dengan
kehadiran secara jasmani” (11 Agustus, 1264).
Paus Urbanus
IV menugaskan St. Thomas Aquinas untuk menyusun Ibadah Harian untuk perayaan Corpus
Christi, untuk diperingati setiap tahun di hari Kamis setelah hari Minggu
Tritunggal Mahakudus. Tiga lagu karangan St. Thomas Aquinas adalah:
- O, Salutaris Hostia: doa penyembahan/ adorasi
kepada Kristus, Kurban yang menyelamatkan yang membuka pintu Surga bagi
manusia.
- Tatum Ergo Sacramentum: doa Adorasi kepada Sang Sabda
yang menjadi manusia, di mana iman menopang apa yang tidak dapat dirasakan
oleh perasaan.
- Panis Angelicus, doa Adorasi kepada Sang
Santapan Rohani, ketika mereka yang rendah hati memperoleh makanannya oleh
Tuhan yang menjelma menjadi manusia.
St. Thomas,
seperti halnya Gereja, tidak memisahkan antara Ekaristi sebagai Kurban, Komuni
dan Kehadiran Kristus yang nyata di dalamnya. Sebab tanpa Kehadiran Yesus yang
nyata dalam Ekaristi, maka tidak akan ada Kurban yang nyata dan Komuni yang
nyata. St. Thomas mengajarkan bahwa Putera Allah menjadi manusia agar Ia dapat
mengurbankan diri-Nya di Kalvari dan kemudian seterusnya mengurbankan diri-Nya
dalam Misa Kudus. Kristus menjadi manusia agar Ia dapat memberikan diri-Nya
kepada para murid-Nya di Perjamuan Terakhir dan untuk seterusnya memberikan
diri-Nya dalam Komuni Kudus.
Zaman Abad Pertengahan sampai Konsili Trente
Sejak
perayaan Corpus Christi ditetapkan oleh Paus Urban IV, para Paus terus
mempertahankan iman Gereja akan kehadiran Kristus yang tak terputuskan di dunia
dalam rupa Ekaristi kudus. Setiap kali ada pertentangan, Gereja kembali
mengeluarkan pernyataan yang lebih jelas tentang ajaran mengenai Ekaristi.
Sebelum Konsili Trente
Ada beberapa
situasi yang akhirnya diikuti oleh pernyataan Paus:
- Di abad ke-14, saat
berkomunikasi dengan uskup Armenian yang memohon bantuan subsidi, Paus
Klemens IV menanyakan apakah mereka mengakui iman Katolik yang penuh. Di
antara pembicaraan itu, Paus mensyaratkan bahwa mereka menerima pernyataan
bahwa, “Setelah perkataan konsekrasi, maka hadirlah secara nyata Tubuh
Kristus yang sama, dengan Tubuh Kristus yang dilahirkan oleh Perawan Maria
dan yang dikurbankan di kayu salib” (29 September, 1351).
- Dua puluh tahun kemudian Paus
Gregorius XI menentang pandangan yang menganggap bahwa Kristus tidak tetap
hadir dalam Ekaristi, ketika rupa Ekaristi mengalami desekrasi/
diperlakukan dengan tidak hormat (lih. pernyataan Paus Gregorius, 8
Agustus 1371).
- Terhadap pandangan Calixtines
di abad ke-15, yang mengatakan bahwa keseluruhan Kristus tidak diterima
kecuali jika umat menerima Komuni kudus dalam dua rupa, Konsili di
Constance memutuskan untuk “menyatakan, mendekritkan dan menentukan”,
sebagai artikel iman bahwa, “Keseluruhan Tubuh dan Darah Kristus
benar-benar terkandung di dalam rupa roti saja dan di dalam rupa anggur
saja.” Definisi ini ditegaskan oleh Paus Martinus V (1 September, 1425).
Eksposisi
dan penyembahan sakraman Mahakudus menjadi umum sejak abad ke-15. Namun
penyembahan ini biasanya diadakan untuk alasan tertentu, misalnya untuk memohon
kesembuhan bagi orang-orang sakit, ataupun di saat ajal, agar yang didoakan
dapat mengalami kematian yang membahagiakan.
Konsili Trente
Di abad
ke-16, seluruh ajaran iman Katolik tentang Ekaristi Kudus ditentang oleh para
Reformer Protestan. Sebagai konsekuensinya, Konsili Trente membahas mengenai
hal ini secara menyeluruh.
Sakramen-sakramen
yang lain tidak memiliki kuasa menguduskan sampai sakramen itu diterimakan,
tetapi dalam Ekaristi, Sang Pemberi kekudusan itu sudah hadir sebelum sakramen
itu diterimakan. Sebab sebelum para Rasul menerima Ekaristi dari tangan Tuhan
kita, Ia telah berkata bahwa adalah Tubuh-Nya itulah yang Ia berikan kepada
mereka.
Gereja telah
selalu percaya bahwa segera setelah konsekrasi, Tubuh dan Darah yang
sesungguhnya dari Tuhan kita, bersama dengan Jiwa dan Ke-Allahan-Nya, hadir
dalam rupa roti dan anggur. Tubuh-Nya hadir dalam rupa roti, dan Darah-Nya
dalam rupa anggur, melalui perkataan konsekrasi tersebut. Tetapi Tubuh-Nya juga
hadir dalam rupa anggur, dan Darah-Nya dalam rupa roti, dan Jiwa-Nya di dalam
kedua rupa karena hubungan kodrati dan dalam kebersamaan yang mempersatukan
bagian-bagian Kristus Tuhan kita, yang telah bangkit dari kematian dan tidak
akan wafat lagi. Selanjutnya ke-Allahan Kristus hadir disebabkan oleh kesatuan
hipostatik (hypostatic union) dengan Tubuh dan Jiwa-Nya. Oleh karena
itu, adalah sungguh benar bahwa ke-Allahan-Nya hadir dalam salah satu rupa,
maupun dalam kedua rupa. Sebab Kristus, secara keseluruhannya, hadir dalam rupa
roti dan dalam rupa bagian apapun dari roti itu, dan demikianlah keseluruhan
Kristus hadir dalam rupa anggur dan dalam rupa bagian-bagiannya.
Konsili
Trente mengajarkan, “Putera Allah yang Tunggal adalah untuk disembah di dalam
sakramen Ekaristi, dengan penyembahan termasuk secara eksternal (kelihatan).
Karena itu, sakramen adalah untuk dihormati dengan perayaan yang luar biasa dan
dengan agung dibawa dari tempat ke tempat dalam prosesi menurut ritus dan
kebiasaan universal yang layak dari Gereja yang kudus. Sakramen Ekaristi adalah
untuk diperlihatkan secara publik agar dapat disembah.” Pernyataan ini
disetujui oleh Paus Yulius III (11 Oktober 1551), dan menjadi dasar bagi ajaran
dan kemajuan devosi kepada Sakramen Mahakudus.
Perkembangan Adorasi Ekaristi
Devosi Empat Puluh Jam
Sebelum
akhir abad ke-16, Paus Klemens VIII di tahun 1592, yang mengeluarkan dokumen
historis yang disebut Quarant Ore (Empat puluh jam).
Devosi ini
mencakup 40 jam doa tanpa henti di hadapan Sakramen Mahakudus. Doa ini
dilakukan tanpa henti sehingga di gereja-gereja yang berbeda (yang ditentukan
oleh Paus) pada hari-hari tertentu, dilakukan devosi 40 jam, dengan pengaturan
gereja-gereja dan waktu-waktu yang, setiap jamnya doa-doa dinaikkan tanpa henti
di hadapan Tuhan.
Sekitar
seabad kemudian, di tahun 1731, Paus Klemen XIII mengeluarkan instruksi yang
lebih detail tentang devosi tersebut, yaitu bahwa:
- Sakramen Mahakudus ditempatkan
terekspos di altar tinggi (high altar).
- Patung-patung, relikwi dan
gambar-gambar yang ada di sekitar altar agar digeserkan atau diselubungi
dengan kain.
- Hanya klerus yang dapat
melayani eksposisi Sakramen Mahakudus di altar tersebut.
- Harus ada penyembah yang hadir
tiada terputus di hadapan Sakramen Mahakudus, dan harus melibatkan imam,
atau klerus dari ordo yang utama.
- Tidak boleh ada Misa yang
dilakukan di altar eksposisi tersebut.
Secara
berangsur-angsur, devosi 40 jam ini tersebar ke seluruh dunia.
Kitab Hukum
Kanonik 1917 menganjurkan agar setiap tahunnya diadakan eksposisi Sakramen
Mahakudus agar umat setempat dapat merenungkan dan menyembah Misteri Ekaristi
secara lebih khusus (lih. Kan. 942, KHK 1917).
Devosi Penyembahan Abadi
Penyembahan
Sakramen Mahakudus secara terus menerus disebut “Penyembahan Abadi” artinya:
- Selalu ada seseorang yang
menyembah/ berdoa di hadapan Sakraman Mahakudus, jadi secara literal
maupun moral penyembahan dilakukan tanpa terputus; hanya terjadi interupsi
singkat karena alasan-alasan yang tak terelakkan.
- Adorasi tak terputus dilakukan
di gereja/ kapel yang khusus.
- Adorasi tak terputus di
gereja-gereja atau kapel di kawasan tertentu -seperti di keuskupan atau
negara- atau seluruh dunia.
Kebiasaan
penyembahan abadi ini telah ada sejak abad ke-4, umumnya dilakukan delapan hari
setelah Baptisan. Jadi telah lama sebelum ditentukannya perayaan Corpus
Christi, kebiasaan menyembah sakramen Mahakudus telah dilakukan baik oleh
para religius maupun awam.
Kebiasaan
penyembahan Sakramen Mahakudus lebih dikenal oleh umat Katolik di Eropa, secara
khusus pada saat Gereja berhasil meluruskan ajaran sesat Albigenses di abad ke
13. Raja Perancis, Louis VII meminta kepada Uskup Avignon untuk mentahtakan
Sakramen Mahakudus di kapel Salib Suci (14 Sept, 1226). Pihak Vatikan
meratifikasi tradisi ini, dan melanjutkannya sampai tahun 1792 di masa revolusi
Perancis. Tradisi ini yang sempat terhenti kemudian diadakan kembali tahun
1829.
Walaupun
sudah sejak lama tradisi penyembahan Sakramen Mahakudus ini dikenal, namun
dapat dikatakan bahwa baru sejak Konsili Trente, penyembahan abadi ini
berkembang mendunia. Sejak itu ada banyak lembaga yang didirikan untuk secara
khusus mengadakan adorasi Sakramen Mahakudus sepanjang hari, seperti:
Ordo Benediktin yang mengkhususkan diri untuk penyembahan Sakramen Mahakudus di
Austria (1654); Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria, dan Kongregasi
Penyembahan Abadi (1817); the Pious Union of the Adorers of the Most Blessed
Sacrament (1810); Asosiasi umat untuk Penyembahan abadi Ekaristi (dimulai
1641, berkembang tahun 1753 di Perancis); the Blessed Sacrament Fathers
(1856) oleh St. Peter Eymard.
Kunjungan ke Sakramen Mahakudus
Kebiasaan
ini dikenal di awal Abad Pertengahan. Para biarawati umumnya memulai hari-hari
mereka dengan mengunjungi Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Para sejarawan
Katolik menuliskan bahwa sebelum abad ke-14, kebiasaan mengunjungi Sakramen
Mahakudus telah menjadi sesuatu yang umum.
Para
reformer Protestan di Inggris yang di abad ke-16 menentang kehadiran Kristus
dalam Ekaristi, tiga abad kemudian kembali menyakini kehadiran Kristus dalam
Ekaristi, sebagaimana dipelopori oleh the Anglican Sisterhood of St.
Margaret (1854).
Kunjungan
kepada Sakramen Mahakudus sesering mungkin dianjurkan dalam Kitab Hukum
Kanonik. KHK 1917 mengajarkan agar umat setia mengunjungi Sakramen Mahakudus
sesering mungkin (Kan. 1273). KHK 1983, secara lebih jelas lagi menyatakan,
“Kecuali ada alasan yang berat, gereja yang di dalamnya Sakramen Mahakudus
tersimpan, harus dibuka kepada umat beriman selama beberapa jam setiap hari,
supaya mereka dapat berdoa di dapan sakramen Mahakudus (Kan. 937). Anggota dari
lembaga-lembaga religius setiap hari harus “menyembah Tuhan sendiri yang hadir
dalam Sakramen Mahakudus” (Kan. 663,2).
Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus
Devosi Benediction/
Berkat Sakramen Mahakudus dimulai di abad ke-13, dan berkaitan erat dengan
penetapan perayaan Corpus Christi. Dua lagu gubahan St. Thomas Aquinas
menjadi bagian dari doa Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus tersebut.
Dalam
sejarah doa Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus ini terdapat doa
penghormatan kepada Perawan Maria yang terberkati, karena tanpa Maria, tidak
ada Inkarnasi dan tanpa Inkarnasi, tidak ada Ekaristi. Di masa inilah
berkembang kebiasaan di biara-biara untuk menyanyikan juga madah penghormatan
kepada Bunda Maria (yang sering disebut Salve ataupun Salut),
yang menyertai penyembahan kepada Kristus dalam sakramen Mahakudus, secara
khusus ketika sakramen dibawa dalam prosesi dan ketika berkat diberikan kepada
para penderita sakit dan cacat, seperti yang umumnya dilakukan di tempat ziarah
di Lourdes, Perancis.
Kongres Ekaristi
Pernyataan
secara publik tentang iman akan Kehadiran Kristus yang nyata dalam Sakramen
Ekaristi dalam kongres Ekaristi, telah dilakukan di Abad Pertengahan. Tetapi
kongres internasional pertama tentang Ekaristi dilakukan di tahun 1881, atas
prakarsa Marie-Marthe Tamisier seorang awam wanita yang mempunyai devosi kepada
Sakramen Mahakudus sejak masa kanak-kanak. Di tahun 1886, di kongres ke-5 yang
diadakan di Toulous, 1500 uskup dan imam dan 30,000 awam turut berpartisipasi
dalam kongres tersebut.
Sampai
sekarang kongres Ekaristi telah dilaksanakan di seluruh benua. Paus Yohanes
Paulus II menghadiri kongres tersebut di tahun 1980, dan menyatakan peran
utama kongres tersebut bagi seluruh umat. Kongres Ekaristi paling utama dan
terutamanya adalah komunitas besar tentang iman akan kehadiran Kristus dalam
Ekaristi, yang tetap hadir secara sakramental di sepanjang hidup kita sehingga
dengan kekuatan-Nya kita dapat menghadapi masalah-masalah kita, kerja keras dan
penderitaan kita… Kongres harus menunjukkan secara khusus bahwa umat Tuhan di
dunia hidup dari Ekaristi dan menimba kekuatan darinya dalam kekuatan bagi
perjuangan dan pergumulan setiap hari (30 Juni dan 9 Juli, 1980).
Perkembangan doktrin Adorasi Ekaristi
Perkembangan
devosi terhadap Sakramen Mahakudus berhubungan erat dengan perkembangan ajaran
tentang Ekaristi.
Perbendaharaan
iman memang tetap sama, namun pemahaman akan ajaran iman ini terus berkembang.
Konsili Vatikan II yang diadakan sekitar empat abad setelah Konsili Trente,
menjabarkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pijakan bagi perkembangan
doktrin tersebut. Yaitu bahwa Wahyu Ilahi yang dinyatakan dalam Kitab Suci dan
Tradisi Suci telah dipercayakan kepada Gereja. Peran Gereja tidak saja untuk
menjaga Wahyu Ilahi tersebut, namun juga untuk menjelaskan pertumbuhan
penghayatan Gereja akan kebenaran ini. Perbendaharaan Wahyu ilahi, “yang datang
dari para Rasul berkembang di dalam Gereja, dengan bantuan Roh Kudus”. Maka ada
pertumbuhan pemahaman terhadap kenyataan- kenyataan dan kata-kata yang
diturunkan [dari para Rasul kepada para penerus mereka] Ini terjadi dalam
beberapa cara. Ini terjadi karena kontemplasi dan pembelajaran, maupun karena
mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun
juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup
menerima kurnia kebenaran yang pasti. Dengan bertambahnya abad demi abad,
Gereja selalu bertambah maju menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai akhirnya
Sabda Tuhan tergenapi di dalam dirinya (lih. Konsili Vatikan II, Dei Verbum,
8).
Berikut ini
adalah pengalaman-pengalaman rohani yang dialami oleh para orang-orang kudus
yang diperoleh dari penyembahan Sakramen Mahakudus:
- St. Yohanes Fisher (1469-1535)
dan St. Thomas More (1478-1535) menimba kekuatan dari sakramen Mahakudus
sebelum dibunuh sebagai martir. Dalam doanya sebelum wafatnya, St. Thomas
berkata, “O Kristus, Juru selamat yang manis, demi Sengsara-Mu yang sangat
pedih, ambillah dariku, ya Tuhan yang baik, rasa suam-suam kuku, atau
tepatnya permenunganku yang dingin dan ketumpulanku untuk berdoa
kepada-Mu. Dan berikanlah kepadaku, rahmat-Mu agar merindukan
Sakramen-sakramen-Mu yang kudus dan secara khusus untuk bersuka cita dalam
Kehadiran Tubuh-Mu yang tersuci, Kristus Penyelamatku yang manis, dalam
Sakramen Kudus di altar…”
- St. Fransiskus Xaverius
(1506-1552), setelah berkhotbah dan membaptis sepanjang hari akan
menghabiskan waktu di malam hari untuk berdoa di hadapan Sakramen
Mahakudus.
- St. Maria Magdalena dei Pazzi
(1566-1607), menganjurkan umat di dunia, “Seorang sahabat akan mengunjungi
sahabatnya di pagi hari, dan menyapanya di siang hari, sore dan malam hari
dan juga bercakap-cakap dengannya sepanjang hari. Demikian pula,
kunjungilah Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus, jika pekerjaanmu
memungkinkan itu. Secara khusus di kaki altar, seseorang akan berdoa
dengan baik. Dalam setiap kunjunganmu kepada Penyelamat kita,
persembahkanlah Darah-Nya yang berharga kepada Bapa yang kekal. Kamu akan
mendapatkan bahwa kunjungan ke sakramen ini sangat kondusif untuk
meningkatkan kasih ilahi.”
- St. Margaret Maria (1647-1680),
memperoleh kekuatan dari sakramen Mahakudus untuk dapat menghadapi semua
orang yang memperlakukannya dengan cemooh, kebencian, penghinaan, tanpa
mengeluh, dan ia mendoakan mereka semua yang melakukan semua itu
kepadanya. Saat berdoa di depan sakramen Mahakudus, Kristus menyatakan kepada
St. Margaret Maria, “Lihatlah Hati ini yang telah mengasihi umat manusia
dengan sangat dan telah melimpahi mereka dengan segala kebaikan, dan untuk
kasih yang tak terbatas ini tidak memperoleh balasan, selain pengabaian
dan kebencian, dan ini sering dilakukan oleh mereka yang terikat oleh
tugas dan kewajiban untuk memberikan kasih yang lebih istimewa.”
- St. Alfonsus Liguori
(1696-1787): “Tariklah dirimu dari orang-orang dan habiskan waktu
setidaknya seperempat jam atau setengah jam di gereja dalam hadirat Tuhan
dalam sakramen Mahakudus. Kecap dan lihatlah, betapa manisnya Tuhan dan
kamu akan belajar dari pengalamanmu sendiri, betapa banyak rahmat yang
akan kamu peroleh darinya.”
- St. Yohanes Vianney
(1786-1859): “Allah kita tersembunyi di dalam Tabernakel, menantikan agar
kita datang dan mengunjungi-Nya dan memohon kepada-Nya… Di Surga, di mana
kita akan mulia dan berjaya, kita akan melihat-Nya dalam segala
kemuliaan-Nya. Jika Ia telah mempresentasikan Diri-Nya sendiri, di hadapan
kita dengan kemuliaan-Nya itu sekarang, kita tidak akan berani mendekat
kepada-Nya; tetapi Ia menyembunyikan diri-Nya seperti seorang dalam
penjara, yang berkata kepada kita, “Kamu tidak melihat-Ku, tetapi tak
mengapa, mintalah kepada-Ku semua yang kauinginkan dan Aku akan mengabulkannya.”
St. Yohanes dari Vianney menghabiskan waktu yang panjang di hadapan
Sakramen Mahakudus. Dalam homili- homili-Nya, Ia sering menghadap kepada
Tabernakel dan berkata dengan penuh perasaan, “Ia ada di sana!”
Ajaran dari Magisterium Gereja
Konsili Trente
Di dalam
Sakramen Mahakudus hadirlah Allah yang sama dengan Ia yang disembah oleh para
Rasul di Galilea (Dekrit tentang Ekaristi Kudus, bab 5). Ia bukan hanya Allah
yang untuk disembah, namun juga Allah yang kepada-Nya kita dapat memohon.
Banyaknya pengalaman umat akan kehadiran Yesus ini menghantar kita kepada
kesadaran akan betapa literalnya Yesus bersabda ketika Ia berjanji akan
menyertai kita sampai akhir zaman.
Paus Leo XIII
Dalam
pidatonya dalam kongres Ekaristi, Paus Leo XIII mengatakan bahwa kongres
Ekaristi diadakan untuk memperbaiki segala kejahatan yang dilakukan terhadap
Sakramen Mahakudus dan untuk mendukung penyembahannya.” Paus mengakui bahwa
Adorasi Ekaristi mendatangkan buah-buah adikodrati di manapun praktek ini
diadakan dengan iman oleh umat sekalian.
St. Paus Pius X
St. Paus
Pius X, mempunyai devosi kepada Kehadiran Yesus dalam sakramen Mahakudus. Ia
adalah promotor bagi penerimaan Komuni Pertama pada anak-anak di usia yang
dini, dan bagi penerimaan Komuni sesering mungkin (setiap hari). Pada masa
kepemimpinan Paus Pius X itulah Kongres Ekaristi dilakukan di Roma. Kongres
tersebut adalah yang ke-16 dan dibuka oleh Misa yang dipimpin oleh Paus. Paus
Pius XII mengajarkan tentang pendahulunya itu, “Paus Pius X mengenali bahwa
Sakramen Mahakudus itulah yang telah menjadi kekuatan untuk memelihara
kehidupan Gereja secara mendasar, dan untuk mengangkatnya di atas segala
kelompok manusia lainnya.” (Quest’ ore di fulgente, 29 May, 1954).
Paus Benediktus XV dan Pius XI
Paus
Benediktus XV dan Pius XI mendorong diadakannya Adorasi Ekaristi dan doa silih
dan permohonan kepada Allah kita di depan Sakramen Mahakudus. Benediktus XV
yang mengeluarkan Kitab Hukum Kanonik 1917 mengatur tentang penyimpanan
Sakramen Mahakudus “dalam setiap paroki… dan di gereja yang berhubungan dengan
tempat tinggal kaum religius” (Kanon 1265, 1).Paus Pius XI menghubungkan
penyembahan Kristus dalam Sakramen Mahakudus dengan doa silih terhadap dosa. Di
tahun 1928, Paus menulis ensiklik tentang Pemulihan bagi Hati kudus Yesus, yang
intinya adalah mendorong permohonan bagi belas kasih Allah, secara khusus
melalui Sakramen Ekaristi. Paus mendorong umat beriman untuk membuat permohonan
silih dan doa-doa yang disebut sebagai doa “Jam suci/ Holy Hour” (Miserentissimus
Redemptor, 8 Mei, 1928). Jam suci ini adalah pesan yang diterima oleh St.
Margareta Maria di hadapan Sakramen Mahakudus.
Paus Pius XII
Sebelum
terpilih menjadi Paus, Kardinal Pacelli adalah utusan Paus dalam Kongres
Ekaristi di Budapest, Hungaria. Itu adalah tahun 1938, setahun sebelum
meledaklah Perang Dunia II. Setelah menjadi Paus, Paus Pius XII mengeluarkan 41
eksiklik, dan sejumlah di antaranya menunjukkan perkembangan ajaran dalam
Gereja Katolik. Dalam ensikliknya, Mediator Dei, terdapat sembilan
bagian yang menjabarkan tentang “Adorasi Ekaristi”, yang berkembang sebagai
sesuatu yang berbeda dengan Kurban Misa.
- Adorasi Ekaristi
Dasarnya adalah: Kristus dalam sakramen Mahakudus adalah Putera Allah dalam rupa manusia. Ekaristi adalah “sungguh dan secara substansial adalah Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Allahan Tuhan kita Yesus Kristus.” Gereja telah sejak dahulu menyembah Tubuh Kristus dalam rupa roti. St. Agustinus menyatakan: “Tak seorangpun menyantap Tubuh itu, tanpa terlebih dahulu menyembah-Nya… kita berdosa jika kita tidak menyembahnya” (Mediator Dei, 129-130). - Perkembangan Dogmatik
Penyembahan sakramen Mahakudus tidak sama dengan Kurban Misa. Tradisi menyimpan Ekaristi kudus bagi para penderita sakit dan mereka yang dalam bahaya menunjukkan tradisi penyembahan Sakramen Mahakudus. Sakramen Sebab Ekaristi adalah Kurban dan Sakramen. Ekaristi tidak saja menghasilkan rahmat, namun mengandung secara tetap, Sang Pemberi rahmat itu sendiri. Maka ketika Gereja meminta kita menyembah Kristus yang tersembunyi dalam Ekaristi dan memohon kepadanya, maka Gereja menyatakan iman yang hidup akan Mempelai-nya yang hadir dalam selubung ini, dan Gereja menyatakan syukur kepada-Nya dan menikmati keeratan persahabatan dengan-Nya (Mediator Dei, 131). - Perkembangan Devosi
Gereja kini telah mempunyai berbagai bentuk penyembahan tersebut, contohnya: kunjungan ke hadapan Tabernakel setiap hari, Benediction/ Berkat Sakramen Mahakudus, prosesi Ekaristi, terutama di masa Kongres Ekaristi, devosi 40 jam, ataupun Adorasi abadi, dst (Mediator Dei, 132).
Paus St. Yohanes XXIII
Berbeda
dengan pendahulunya, Paus ini tidak menulis panjang lebar tentang liturgi
Ekaristi, namun menggunakan setiap kesempatan untuk mendorong umat, terutama
para imam, untuk berdoa di hadapan sakramen Mahakudus. Dalam kehidupan sebagai
imam, tidak ada yang dapat menggantikan saat berdoa dalam keheningan di depan
altar. Penyembahan, syukur, doa silih bagi dosa-dosa, berbagai intensi doa,
digabungkan semua untuk menumbuhkan kasih sang imam kepada Allah yang
Mahatinggi yang kepada-Nya ia telah berkaul dan untuk semua umat yang
tergantung kepada pelayanannya sebagai imam. Dengan melakukan kebiasaan adorasi
ini, maka kehidupan rohani para imam akan terus bertumbuh dan diperkaya,
memberi kekuatan bagi kegiatan-kegiatan misi. Namun meskipun Paus menganjurkan
para imam untuk berdoa di depan altar, Paus tetap mengingatkan mereka bahwa
“Doa Ekaristi dalam arti yang penuh adalah Kurban Misa Kudus” (Sacredotii
Nostri Primordia, 11 Agustus 1959).
Pada malam
sebelum diadakannya Konsili Vatikan II, Paus St. Yohanes XXIII berpartisipasi
dalam prosesi Sakramen Mahakudus di Roma. Ia menyusun doa bagi Konsili
demikian:
“O Yesus,
lihatlah kepada kami dari Sakramen-Mu seperti seorang Gembala yang baik… O
Yesus, Sang Gembala yang baik, inilah kawanan-Mu yang telah Engkau kumpulkan
dari ujung-ujung bumi, kawanan yang mendengarkan Sabda kehidupan, dan bermaksud
menjaganya, melaksanakannya, dan mewartakannya. Ini adalah kawanan yang
mengikuti Engkau dengan taat, O Yesus, dan berharap dengan sangat untuk melihat,
di dalam Konsili ekumenis ini, cerminan dari wajah-Mu di dalam sifat-sifat
Gereja-Mu, sang ibu dari semua orang, sang ibu yang membuka lengannya dan
hatinya untuk semua orang, dan di sini menantikan, dengan gemetar dan dengan
penuh harap, kedatangan semua Uskup-uskupnya” (21 Juni, 1962).
Paus Paulus VI
Meskipun
Paus Yohanes XXIII yang membuka Konsili Vatikan II dan masih hidup sampai sesi
pertama Konsili di tahun 1962, namun yang mempromulgasikan ke-16 dokumen
Konsili adalah penerusnya, yaitu Paus Paulus VI. Dokumen Konsili pertama yang
dipromulgasikan adalah Konstitusi tentang Liturgi Suci (4 Des 1963) sekitar 2
tahun kemudian, Paus mengeluarkan ensiklik Mysterium Fidei (3 Sept
1965), yang merupakan tulisan yang memaparkan analisa pengajaran tentang
Kehadiran Yesus yang nyata dalam Sakramen Ekaristi: kehadiran Yesus dalam rupa
roti dalam Sakramen Mahakudus, dan penyampaian rahmat-Nya melalui kehadiran-Nya
secara Ekaristis sekarang di dunia.
- Kehadiran-Nya secara nyata
dalam Ekaristi.
Cara yang membuat Kristus hadir di dalam Sakramen ini tidak lain adalah dengan perubahan seluruh substansi dari roti menjadi Tubuh-Nya dan semua substansi anggur menjadi Darah-Nya, dan bahwa perubahan yang unik dan mengagumkan ini yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi . Akibatnya, rupa roti dan anggur memperoleh arti baru dan tujuan akhir yang baru, sebab mereka tidak lagi menjadi roti dan anggur biasa, tetapi menjadi tanda sesuatu yang sakral, tanda makanan rohani…. Tidak ada lagi, apa yang dikandung oleh rupa tersebut sebelumnya, sekarang menjadi sepenuhnya berbeda. Mengapa? Tidak saja karena iman Gereja, tetapi dalam kenyataan obyektif. Setelah perubahan substansi roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, tidak ada yang tertinggal pada roti dan anggur itu kecuali rupa yang terlihat, yang di dalamnya Kristus, secara keseluruhan, dalam kenyataan fisik, hadir secara jasmani (Mysterium Fidei, V) - Penyampaian Rahmat Allah. Jika
Kehadiran Yesus dikenali, maka logis jika kita menyembah Sang Penyelamat
kita dalam Sakramen Mahakudus.
Paus mengutip ajaran dari St. Silirus dari Aleksandria, yang mempertahankan kehadiran fisik kemanusiaan Kristus dalam Inkarnasi, seperti halnya juga dalam Ekaristi. St. Sirilus menolak pandangan bahwa jika Ekaristi dibiarkan sampai hari berikutnya, maka tidak lagi menyampaikan rahmat pengudusan. St. Sirilus mengajarkan, “Kristus tidaklah berubah, ataupun Tubuh-Nya yang kudus berubah, tetapi kekuatan dan rahmat yang menghidupkan kembali tetap ada padanya.” (MF VI).
Begitu roti dan anggur telah dikonsekrasikan dan transubstansiasi telah terjadi, Kristus tetap ada sepanjang rupa Ekaristi tetap ada. Karena itu, sebab Kristus hadir, kemanusiaan-Nya tetap menjadi sumber rahmat yang menghidupkan. Dalam pernyataan kedua bahwa Ekaristi adalah saluran rahmat, Paus Paulus menyebutkan Ekaristi sebagai Kurban dan Komuni, dan Ekaristi sebagai Kehadiran Tuhan. Tidak hanya pada saat Kurban dipersembahkan dan sakramen diterima, tetapi sepanjang Ekaristi disimpan di gereja-gereja/ kapel kita, Kristus adalah sungguh Emmanuel, yaitu “Allah bersama kita”. Siang dan malam Ia ada di tengah kita. Ia tinggal bersama kita, penuh rahmat dan kebenaran… (MF VI) - Tak diragukan lagi, Sang
Penyelamat kita yang hidup hadir dalam Sakramen Mahakudus. Namun harus ada
iman dari sisi kita. Siapapun yang datang kepada sakramen ini dengan
devosi yang istimewa dan berusaha untuk membalas kasih Kristus yang tak
terbatas ini, akan mengalami dan memahami secara penuh… betapa berharganya
hidup tersembunyi dengan Kristus di dalam Tuhan, dan betapa besar nilainya
percakapan dengan Kristus. Sebab tak ada yang lebih menghibur di dunia
ini, tak ada yang lebih berdayaguna bagi kemajuan di jalan kekudusan (MF
VI).
Paus Yohanes Paulus II
Paus Yohanes
Paulus II dikenal sebagai Paus yang paling mengajarkan tentang Kehadiran Yesus
yang nyata dalam Ekaristi. “Ekaristi, di Misa dan di luar Misa, adalah Tubuh
dan Darah Yesus Kristus, dan karena itu, layak menerima penyembahan yang
diberikan kepada Allah yang hidup…” (29 September 1979)
Ekaristi
adalah sekaligus sebuah Sakramen Kurban, Sakramen Komuni dan Sakramen Kehadiran
(Redemptoris Hominis, IV, 20)
Adalah “Sang
Penebus manusia” yang oleh sengsara dan wafat-Nya memperoleh rahmat bagi
penyelamatan kita. Tetapi adalah melalui Ekaristi, Kristus yang sama itu
sekarang menyalurkan rahmat-Nya ini kepada umat manusia yang berdosa. Gereja
hidup dari Ekaristi, oleh kepenuhan Sakramen ini. Melalui Gerejalah rahmat
Tuhan yang tak kelihatan dan pengudusan disampaikan kepada jiwa manusia.
Dengan
kurban ini, Allah memberikan rahmat-Nya dan kurnia pertobatan, dan Ia
mengampuni dosa-dosa. Berkat penebusan Kristus yang diberikan-Nya kepada kita
melalui kematian-Nya yang berdarah di Kalvari, kini “kita terima secara
berlimpah melalui kurban-Nya yang tidak berdarah” (17 September 1562).
Adalah
kehendak Kristus bahwa “Sakramen ini diterima sebagai santapan rohani, untuk
mempertahankan dan membangun mereka yang hidup dengan hidup-Nya. Itu juga
menjadi “obat untuk membebaskan kita dari kelemahan-kelemahan dan untuk
menghindari kita dari dosa berat” (11 Oktober, 1551).
Kehadiran
Kristus yang nyata adalah Sakramen dengan cara yang sama seperti kemanusiaan
Kristus adalah saluran rahmat bagi mereka yang percaya bahwa Putera Allah
menjadi manusia untuk keselamatan kita.
Paus Benediktus XVI
Dalam
Ekshortasi Apostoliknya, Sacramentum Caritatis, Paus mengajarkan:
“Dalam
Ekaristi, Putera Allah datang untuk menjumpai kita dan menghendaki untuk
menjadi satu dengan kita. Adorasi Ekaristi adalah konsekuensi yang kodrati dari
perayaan Ekaristi, yang adalah ibadah Adorasi tertinggi bagi Gereja. Menerima
Ekaristi artinya menyembah Dia yang kita terima. Hanya dengan cara ini kita
menjadi satu dengan Dia, dan kita diberikan, seolah-olah, kesempatan mencicipi
keindahan liturgi surgawi. Ibadah Adorasi di luar Misa memperpanjang dan
memperdalam semua yang terjadi di sepanjang perayaan liturgi itu sendiri.
Sungguh, hanya dalam penyembahanlah, penerimaan yang mendalam dan tulus akan
bertumbuh dewasa. Perjumpaan pribadi dengan Tuhanlah yang memperkuat misi
sosial yang terkandung dalam Ekaristi, yang meruntuhkan tidak saja
dinding-dinding yang memisahkan Allah dengan diri kita, tetapi juga dan secara
khusus, dinding-dinding yang memisahkan kita satu sama lain.” (SC, 66)
“Dengan
sidang Sinoda, maka saya dengan sungguh merekomendasikan para imam dan para
umat untuk melaksanakan Adorasi Ekaristi, baik secara perorangan maupun dalam
komunitas. Keuntungan yang besar akan diperoleh dari katekesis yang memadai
kepada umat beriman akan pentingnya ibadah penyembahan ini, yang memampukan
umat beriman untuk mengalami perayaan liturgi dengan lebih penuh dan
menghasilkan buah…. Saya juga menganjurkan, dalam pengajaran katekese, dan
secara khusus dalam persiapan penerimaan Komuni Pertama, anak-anak diajarkan
arti dan indahnya menghabiskan waktu dengan Yesus dan membantu menanamkan rasa
kagum di hadapan kehadiran-Nya dalam Ekaristi…” (SC 67)
Penutup: Rahmat melalui kemanusiaan Kristus
Tema di
balik ajaran Gereja tentang Ekaristi adalah kehadiran Kristus yang menghibur/
menopang di dalam Sakramen Mahakudus. Kehadirannya yang nyata dalam arti yang
sepenuhnya, kehadiran-Nya yang substansial di mana hadirlah Kristus seluruhnya,
[sebagai] Allah dan manusia (Paus St. Yohanes Paulus II, 29 Sept 1979).
Jika ini
dihayati, maka tak sulit untuk melihat mengapa doa-doa di hadapan sakramen
Mahakudus menjadi sangat berdayaguna. Sebab sakramen ini tidak hanya
menyampaikan rahmat, namun mengandung Sang Sumber rahmat itu sendiri, yaitu
Yesus Kristus. Yesus yang dahulu melakukan banyak mukjizat, menyembuhkan banyak
orang sakit, mengajar dengan penuh kuasa, menubuatkan sengsara dan wafat-Nya…
Yesus Sang Putera Allah yang Tunggal yang menjadi manusia, tak hanya pernah
hidup di dunia, namun dalam Ekaristi, sekarang tetap hidup di antara kita.
Namun untuk
menimba kebijaksanaan dan kekuatan yang tak terbatas dari Ekaristi, kita harus
percaya terlebih dahulu. Dalam Ekaristi, hadirlah Kristus, Sang Penyelamat yang
sama yang telah mengambil rupa manusia untuk wafat bagi kita di Kalvari, yang
telah bangkit dan yang sekarang menyampaikan melalui kemanusiaan-Nya yang kini
telah dimuliakan, berkat-berkat keselamatan.
Betapa kita
sebagai umat Katolik perlu memohon kepada Tuhan Yesus, agar membantu kita
supaya hari demi hari kita dapat semakin menghayati kehadiran-Nya yang nyata
dalam Ekaristi. Betapa kita sepantasnya terus mensyukuri kehadiran
Kristus dalam Ekaristi, yang selalu menyertai Gereja-Nya. Saat kita
mengumandangkan lagu Panis Angelicus, biarlah hati kita juga terangkat
untuk mengakui bahwa Kristus sungguh adalah Sang Roti dari Surga, yang
senantiasa dicurahkan untuk menjadi santapan bagi kita yang masih berziarah di
dunia ini, dan yang memandang kepada-Nya dalam kerendahan kita, agar Ia
menuntun kita sampai kepada terang Ilahi-Nya di Surga. Semoga Kristus membantu
kita mengenali Dia yang tersembunyi dalam rupa Hosti kudus, dan tidak
membiarkan kita mengeraskan hati seperti orang Farisi, yang karena kedegilan
hati, menolak untuk percaya akan Sang Putera Allah yang pernah hadir di hadapan
mereka sendiri dalam rupa manusia.
“Tuhan
Yesus, celikkanlah mata hatiku, agar dapat mengenali kehadiran-Mu yang
terselubung, saat aku memandang Ekaristi kudus. Semoga Engkau mengizinkan aku
memandang Engkau kembali, saat tiada lagi selubung yang menyembunyikan
kemuliaan-Mu, dalam Kerajaan-Mu.“
0 komentar:
Post a Comment