Dari serangkaian penampakan dan pesan Yesus dan Maria.
Suatu pengajaran mengenai apa yang terjadi sepanjang Misa Kudus dan bagaimana kita dapat mengalaminya dengan hati kita.
diterjemahkan oleh YESAYA (YESus SAyang saYA)
www.indocell.net/yesaya dari:
“The Holy Mass - The Testimony of Catalina”
Imprimatur given for the original Spanih text by:
Bishop Jose Oscar Brahona C.
Obispo de San Vicente
El Salvador, C.A.
March 2, 2004
Copyright © 2004-2007 by the Great Crusade of Love and Mercy. All rights reserved. Published in coordination with the Apostolate of the New Evangelization.
Permission is granted to reproduce this book as a whole in its entirety with no changes or additions and as long as the reproduction and distribution is done solely on a non-profit basis.
Dipersembahkan kepada
Yang Mulia, Paus Yohanes Paulus II
Rasul Pertama Evangelisasi Baru.
Dari teladan beliau, kami, umat awam,
belajar mengenai iman, keberanian dan kesalehan.
Dengan berlimpah syukur dan kasih.
Kepada segenap imam
Tali pusat antara Tuhan dan manusia,
yang menyampaikan rahmat ilahi melalui pengampunan
dan konsekrasi Ekaristi.
Catalina
“Maka kata mereka kepada-Nya: `Tuhan, berikanlah kami roti itu senantiasa.' Kata Yesus kepada mereka: `Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.'” (Yohanes 6:34-35)
“Maka kata Yesus kepada mereka: `Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.'” (Yohanes 6:53-54)
“Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yohanes 6:55-57)
“Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yohanes 6:58)
Kesaksian Catalina mengenai Misa Kudus
Dalam suatu katekese yang mengagumkan, Tuhan dan Santa Perawan Maria mengajarkan kepada kita, pertama-tama, mengenai bagaimana berdoa Rosario Suci, berdoa dengan hati kita, merenungkan serta menikmati saat-saat perjumpaan kita dengan Tuhan dan Bunda Maria. Mereka juga mengajarkan kepada kita bagaimana Mengaku Dosa dengan baik, dan [dalam kesaksian ini], Mereka menunjukkan kepada kita apa yang terjadi sepanjang Misa Kudus dan bagaimana mengalaminya dengan hati kita.
Inilah kesaksian yang harus dan ingin aku berikan kepada seluruh dunia, demi Kemuliaan Tuhan yang terlebih lagi dan demi keselamatan mereka semua yang mau membuka hati bagi Dia. Kesaksian ini diberikan agar begitu banyak jiwa yang dikonsekrasikan kepada Tuhan dapat mengobarkan kembali api kasih mereka kepada Kristus; mereka yang mempunyai tangan-tangan yang memiliki kuasa untuk mendatangkan Kristus ke dunia untuk menjadi santapan kita [jiwa-jiwa para imam] dan mereka yang lainnya [jiwa-jiwa religius] agar mereka terlepas dari kebiasaan menyambut Dia sebagai suatu “praktek rutinitas” dan menghidupkan kembali kekaguman dari perjumpaan setiap hari dengan sang Kasih. Kesaksian ini diberikan agar saudara dan saudariku kaum awam di segenap penjuru dunia dapat mengalami Mukjizat teragung, perayaan Ekaristi Kudus, dengan hati mereka.
Kala itu vigili Hari Raya Kabar Sukacita dan anggota kelompok kami dan aku pergi menyambut Sakramen Rekonsiliasi. Sebagian perempuan dari kelompok doa tidak dapat menyambut sakramen saat itu, dan mereka menunda Tobat mereka hingga keesokan harinya sebelum Misa Kudus.
Ketika aku tiba di gereja keesokan harinya, sedikit terlambat, Yang Mulia, Uskup Agung dan para imam telah keluar dari sakristi. Dengan suara yang lemah lembut dan feminin yang menenangkan jiwa, Santa Perawan Maria mengatakan:
“Hari ini adalah hari pelajaran bagimu; dan aku ingin engkau memperhatikan dengan seksama sebab semua yang engkau saksikan pada hari ini, semua yang engkau alami pada hari ini; harus engkau bagikan kepada segenap umat manusia.” Aku terpana dan tidak mengerti [arti kata-katanya], tetapi aku berusaha memperhatikan dengan amat seksama.
Hal pertama yang aku cermati adalah suatu paduan suara yang sangat indah merdu yang bernyanyi seolah dari kejauhan. Terkadang musik datang mendekat dan kemudian pergi menjauh, seperti suara angin.
Uskup Agung memulai Misa, dan ketika beliau tiba pada Ritus Tobat, Santa Perawan mengatakan,
“Dari lubuk hatimu, mohonlah pengampunan Tuhan atas segala kesalahanmu karena telah menyakiti-Nya. Dengan demikian, engkau akan dapat berpartisipasi dengan pantas dalam hak istimewa ini, yakni ikut ambil bagian dalam Misa Kudus.”
Pastilah terlintas dalam benakku: “Tetapi, aku dalam keadaan rahmat. Aku baru saja pergi mengaku dosa semalam.”
Ia menjawab: “Apakah kau pikir engkau tidak menyakiti Tuhan sejak tadi malam? Mari aku ingatkan engkau akan beberapa hal. Ketika engkau berangkat untuk datang kemari, gadis yang membantumu datang untuk meminta sesuatu, dan karena engkau terlambat, engkau menjawabnya dengan tergesa dan tidak dengan cara yang terbaik. Kurang belas kasih dari pihakmu, dan engkau mengatakan bahwa engkau tidak menyakiti Tuhan…?
Dalam perjalanan kemari, sebuah bis melintas di jalurmu dan nyaris menabrakmu. Engkau mengekspresikan diri dengan suatu cara yang tidak pantas terhadap laki-laki malang itu, dan bukannya mengucapkan doa-doamu dan mempersiapkan diri untuk Misa. Engkau memperlihatkan kurangnya belas kasih dan engkau kehilangan damai dan kesabaran. Dan engkau mengatakan bahwa engkau tidak melukai Tuhan…?
Engkau tiba di menit-menit terakhir ketika prosesi selebran menuju Altar telah dimulai… dan engkau akan ikut ambil bagian dalam Misa tanpa persiapan terlebih dahulu….”
“Baiklah, Bunda-ku, jangan katakan lagi padaku,” jawabku. “Engkau tak perlu mengingatkanku akan lebih banyak hal lagi, sebab aku akan mati karena sedih dan malu.”
“Mengapakah kalian semua harus tiba di saat-saat terakhir? Kalian seharusnya tiba lebih awal agar kalian dapat memanjatkan doa dan memohon Tuhan untuk mengutus Roh KudusNya, agar Roh Kudus menganugerahi kalian roh damai dan membersihkan kalian dari roh duniawi, kekhawatiran, masalah dan distraksi agar kalian dapat mengalami saat yang begitu sakral ini. Tetapi, engkau tiba nyaris ketika perayaan hendak dimulai, dan engkau ikut ambil bagian dalam Misa seolah Misa adalah suatu peristiwa biasa, tanpa ada persiapan rohani. Mengapa? Misa adalah Mukjizat teragung. Engkau akan mengalami saat ketika Allah yang Mahatinggi memberikan anugerah-Nya yang teragung, dan engkau tidak menghargainya.”
Cukuplah. Aku merasa begitu sedih hingga aku memiliki lebih dari cukup untuk memohon pengampunan dari Tuhan. Bukan saja untuk pelanggaran-pelanggaran hari itu, tetapi juga untuk setiap kali ketika, sama seperti banyak orang lainnya, aku menunggu imam selesai menyampaikan homili sebelum memasuki gereja. Aku memohon pengampunan untuk setiap kali ketika aku tidak tahu atau menolak untuk mengerti apa artinya berada di sana, dan untuk setiap kali mungkin, ketika jiwaku penuh dengan dosa-dosa yang lebih serius, dan aku berani ikut ambil bagian dalam Misa Kudus.
Hari itu adalah Hari Raya, dan Gloria didaraskan. Bunda Maria mengatakan: “Muliakanlah dan luhurkanlah Tritunggal Mahakudus dengan segenap kasihmu, dalam pengenalan diri sebagai makhluk ciptaan Tritunggal.”
Betapa berbedanya Gloria itu! Sekonyong-konyong aku melihat diriku sendiri di suatu tempat nun jauh yang dipenuhi cahaya, di hadapan Hadirat Agung Tahta Allah. Dengan luapan kasih aku mengucap syukur kepada-Nya, sementara aku mengulang: “Karena Kemuliaan-Mu yang besar, kami memuji Dikau, kami meluhurkan Dikau, kami menyembah Dikau, kami memuliakan Dikau, kami bersyukur kepada-Mu, Ya Tuhan Allah, Raja Surgawi, Allah Bapa yang Mahakuasa.” Dan aku terkenang akan wajah kebapaan Allah Bapa, penuh belas kasihan…. “Ya Tuhan Yesus Kristus, Putra tunggal Bapa, ya Tuhan Allah, Anak Domba Allah, Engkau yang menghapus dosa dunia….” Dan Yesus ada di hadapanku, dengan wajah penuh kelembutan dan belas kasihan…. “hanya Engkau-lah kudus, hanya Engkau-lah Tuhan, hanya Engkau-lah Mahatinggi, ya Yesus Kristus, bersama dengan Roh Kudus…” Allah Kasih yang menawan. Ia, yang pada saat itu, memenuhi seluruh keberadaanku dengan sukacita….
Dan aku memohon: “Tuhan, bebaskanlah aku dari segala yang jahat. Hatiku adalah milik-Mu. Tuhan-ku, berilah aku damai-Mu agar aku beroleh sebanyak mungkin manfaat dari Ekaristi ini dan agar hidupku boleh menghasilkan buah-buah terbaik. Roh Kudus Allah, ubahlah aku, bertindaklah dalam aku, bimbinglah aku. Ya Tuhan, anugerahilah aku karunia-karunia yang aku butuhkan demi melayani-Mu dengan terlebih baik…!”
Saat Liturgi Sabda tiba, dan Santa Perawan Maria memintaku mengulangi: “Tuhan, pada hari ini aku hendak mendengarkan Sabda-Mu dan menghasilkan buah melimpah. Kiranya Roh KudusMu mempersiapkan ladang hatiku agar Sabda-Mu dapat tumbuh dan berkembang di dalamnya. Tuhan, murnikanlah hatiku agar tertuju pada-Mu.”
Bunda Maria mengatakan: “Aku ingin engkau mendengarkan dengan seksama bacaan-bacaan dan seluruh homili imam. Ingat bahwa Kitab Suci mengatakan bahwa Sabda Tuhan tidak akan kembali tanpa menghasilkan buah. Apabila engkau mendengarkan dengan seksama, sesuatu dari semua yang telah engkau dengarkan akan tinggal dalammu. Berusahalah untuk mengingat sepanjang hari, Sabda yang berkesan bagimu. Terkadang, itu dapat berarti dua ayat; terkadang bacaan dari seluruh Injil, atau mungkin hanya satu kata saja. Resapkanlah Sabda itu sepanjang hari dan maka ia akan menjadi bagian darimu, sebab demikianlah caranya untuk mengubah hidup seseorang, dengan membiarkan Sabda Tuhan mengubahmu.
Dan sekarang, katakan kepada Tuhan bahwa engkau ada di sini untuk mendengarkan, bahwa engkau rindu Ia berbicara kepada hatimu pada hari ini.”
Sekali lagi aku mengucap syukur kepada Tuhan sebab telah memberiku kesempatan untuk mendengarkan Sabda-Nya. Dan aku mohon pada-Nya untuk mengampuniku karena hatiku yang keras kaku selama bertahun-tahun, dan karena mengajarkan kepada anak-anakku bahwa mereka harus pergi ke Misa pada hari Minggu karena demikianlah yang diperintahkan oleh Gereja dan bukan karena kasih, karena kebutuhan untuk dipenuhi oleh Tuhan….
Karena aku, yang telah menghadiri begitu banyak Perayaan Ekaristi, terutama demi memenuhi suatu kewajiban, dan dengan demikian percaya bahwa aku diselamatkan; pikiran untuk mengalami perayaan tidak pernah terlintas dalam benakku, apalagi memberikan perhatian pada bacaan-bacaan ataupun homili imam!
Betapa kesedihan hebat aku rasakan atas begitu banyak tahun yang hilang sia-sia akibat keacuhanku!... Betapa dangkal kehadiran kita dalam Misa apabila kita pergi hanya karena itu adalah Misa perkawinan atau Misa arwah atau karena kita ingin bermasyarakat! Betapa suatu kebodohan besar mengenai Gereja kita dan Sakramen-sakramen! Betapa banyak kita membuang-buang waktu dalam berusaha mendidik diri dan menjadi beradab mengenai hal-hal duniawi, hal-hal yang dapat lenyap dalam sekejap tanpa meninggalkan suatu apapun bagi kita. Hal-hal yang, di akhir hidup kita, bahkan tidak dapat berguna untuk menambahkan barang semenit saja dari masa keberadaan kita! Namun demikian, kita sama sekali tak tahu menahu mengenai hal-hal yang akan mendatangkan bagi kita suatu cicipan Surgawi di bumi dan pada akhirnya, kehidupan kekal. Dan kita menyebut diri sebagai laki-laki dan perempuan beradab…!
Beberapa waktu kemudian tiba saat Persembahan, dan Santa Perawan mengatakan: “Berdoalah seperti ini: [dan aku mengulanginya] Tuhan, aku persembahkan segala keberadaanku, segala milikku, segala kemampuanku. Aku letakkan semuanya ke dalam Tangan-Tangan-Mu. Ubahlah aku, ya Tuhan yang Mahakuasa, melalui jasa-jasa PutraMu. Aku berdoa bagi keluargaku, bagi para penderma, bagi setiap anggota Apostolate kami, bagi semua orang yang menentang kami, bagi mereka yang mempercayakan diri mereka pada doa-doaku yang miskin.... Ajarilah aku untuk meletakkan hatiku di atas tanah di hadapan mereka, agar jalan mereka dapat berkurang beratnya…. Demikianlah para kudus berdoa; demikianlah aku menghendaki kalian semua berdoa.”
Dan demikianlah Yesus meminta kita berdoa, agar kita meletakkan hati kita di atas tanah agar mereka [bagi siapa kita berdoa] tidak merasakan beratnya, melainkan kita mendatangkan kelegaan bagi mereka melalui sakit yang diakibatkan kaki mereka yang menapaki hati kita. Bertahun-tahun kemudian, aku membaca sebuah booklet doa tulisan seorang kudus yang amat aku kasihi, José Maria Escrivá de Balaguer, dan dalam booklet itu aku mendapati sebuah doa serupa dengan yang diajarkan Santa Perawan Maria kepadaku. Mungkin orang kudus ini, kepada siapa aku mempercayakan diriku, menyenangkan hati Santa Perawan dengan doa-doa tersebut.
Sekonyong-konyong, beberapa figur yang tidak aku lihat sebelumnya, mulai berdiri. Seolah dari sisi setiap orang yang hadir di Katedral, muncul seorang lainnya; dan segera saja Katedral dipenuhi oleh makhluk-makhluk muda yang menawan. Mereka mengenakan jubah yang sangat putih bersih; mereka mulai bergerak ke lorong tengah gereja, dan lalu menuju Altar.
Bunda Maria mengatakan: “Lihatlah. Mereka adalah Malaikat Pelindung dari setiap orang yang ada di sini. Inilah saat di mana para malaikat pelindung kalian menyampaikan persembahan dan doa-doa kalian di hadapan Altar Tuhan.”
Kala itu, aku sama sekali takjub sebab makhluk-makhluk ini memiliki wajah yang begitu menawan, begitu bercahaya seperti yang tak pernah dibayangkan orang. Wajah mereka begitu rupawan, nyaris tampak sebagai wajah feminin; tetapi, struktur tubuh mereka, tangan dan juga tinggi mereka maskulin. Kaki mereka yang telanjang tidak menyentuh lantai, melainkan mereka seolah meluncur. Arak-arakan itu sungguh amat indah.
Sebagian dari mereka membawa sesuatu serupa sebuah mangkok emas dengan sesuatu [di dalamnya] yang bersinar cemerlang dengan cahaya putih keemasan. Santa Perawan Maria mengatakan: “Lihatlah. Mereka adalah para Malaikat Pelindung dari orang-orang, yang mempersembahkan Misa Kudus ini untuk banyak intensi, mereka yang sadar akan makna dari perayaan ini, mereka yang mempunyai sesuatu untuk dipersembahkan kepada Tuhan….
Persembahkanlah diri kalian pada saat ini…. Persembahkanlah penderitaan, sakit, harapan, kesedihan, sukacita kalian. Haturkanlah permohonan-permohonan kalian. Ingatlah bahwa Misa mengandung nilai yang tak terhingga. Sebab itu, bermurah-hatilah dalam persembahan dan dalam permohonan.”
Di belakang para Malaikat yang pertama, datang malaikat-malaikat lain tanpa suatupun di tangan mereka; mereka datang dengan tangan kosong. Santa Perawan mengatakan, “Mereka adalah para Malaikat dari orang-orang yang, meski ada di sini, tetapi tidak pernah mempersembahkan apapun. Mereka tidak mempunyai minat untuk mengalami setiap saat liturgis Misa, dan para malaikat mereka tidak mempunyai persembahan untuk dihaturkan di hadapan Altar Allah.”
Di akhir prosesi, datang pula malaikat-malaikat lain yang tampak sedih, dengan tangan mereka terkatup dalam doa, tetapi mata mereka terarah ke bawah. “Mereka ini adalah para Malaikat Pelindung dari orang-orang yang ada di sini, namun tidak menghendakinya. Yakni, orang-orang yang merasa terpaksa datang, yang datang kemari karena kewajiban, tanpa kerinduan untuk ikut ambil bagian dalam Misa Kudus. Malaikat mereka maju dengan sedih hati sebab mereka tidak mempunyai suatu apapun untuk dihaturkan di hadapan Altar, terkecuali doa-doa mereka sendiri.
Janganlah mendukakan Malaikat Pelindungmu…. Mohonlah banyak-banyak. Memohonlah demi pertobatan orang-orang berdosa, demi perdamaian dunia, demi sanak saudara, demi sesama, demi mereka yang mempercayakan diri mereka pada doa-doamu. Mohonlah banyak-banyak, tidak hanya bagi dirimu sendiri, melainkan juga untuk semua orang.
Ingatlah bahwa persembahan yang paling menyenangkan Tuhan adalah ketika kalian mempersembahkan diri kalian sendiri sebagai korban bakaran agar Yesus, dengan turun-Nya ke dunia, dapat mengubah kalian melalui jasa-jasa-Nya Sendiri. Apakah yang kalian miliki dari diri kalian sendiri untuk dipersembahkan kepada Bapa? Ketiadaan dan dosa; tetapi persembahan diri kalian yang dipersatukan dengan jasa-jasa Yesus, menyenangkan Bapa.”
Pemandangan itu, prosesi itu begitu indah, hingga sulitlah membandingkannya dengan yang lain. Segenap makhluk surgawi itu membungkuk hormat di hadapan Altar, sebagian meninggalkan persembahan mereka di lantai, sebagian lainnya prostratio dengan kepala nyaris mencium tanah. Dan sesampainya di Altar, mereka segera lenyap dari pandanganku.
Saat-saat akhir Prefasi telah tiba, dan sekonyong-komyong, ketika umat mendaraskan, “Kudus, Kudus, Kudus”, segala yang ada di belakang para selebran lenyap. Di belakang sisi kiri Uskup Agung, tampak beribu-ribu Malaikat dalam suatu garis diagonal: Malaikat-Malaikat kecil, Malaikat-Malaikat besar, Malaikat-Malaikat bersayap lebar, Malaikat-Malaikat bersayap kecil, Malaikat-Malaikat tanpa sayap. Sama seperti Malaikat-Malaikat sebelumnya, semua mengenakan jubah serupa alba putih para imam atau putera altar.
Semua berlutut dengan tangan terkatup dalam doa, dan menundukkan kepala dalam hormat. Terdengar suara musik nan merdu, seolah ada begitu banyak paduan suara yang berpadu harmoni dalam beragam suara, semuanya bermadah sesuara dengan umat: Kudus, Kudus, Kudus….
Tibalah saat Konsekrasi, saat yang paling mengagumkan dari segala Mukjizat …. Di belakang sisi kanan Uskup Agung tampak suatu himpunan besar orang, juga dalam suatu garis diagional. Mereka mengenakan jubah serupa dengan jubah para Malaikat Pelindung, tetapi dalam warna-warna lembut: merah muda, hijau, biru muda, ungu muda, kuning; yakni dalam beraneka warna yang amat lembut. Wajah mereka juga berbinar-binar, penuh sukacita. Mereka semua tampak seusia. Kalian dapat melihat (aku tak dapat mengatakan mengapa) bahwa mereka adalah orang-orang dari berbagai tingkat usia, tetapi wajah mereka tampak serupa, tanpa kerut, bahagia. Mereka semua berlutut juga, sementara menyanyi “Kudus, Kudus, Kuduslah Tuhan….”
Bunda Maria mengatakan: “Mereka ini adalah segenap santa santo dan beata beato di surga, dan di antara mereka terdapat juga jiwa-jiwa dari sanak saudara dan anggota keluarga kalian yang telah menikmati Hadirat Tuhan.” Kemudian aku melihat Bunda Maria. Ia di sana, tepat di sebelah kanan Yang Mulia Uskup Agung… setapak di belakang selebran. Ia sedikit melayang di atas lantai, berlutut di atas suatu bantalan yang amat indah, transparan sekaligus bercahaya, serupa air kristal. Santa Perawan, dengan tangan-tangannya terkatup dalam doa, memandang dengan penuh perhatian dan hormat kepada selebran. Ia berbicara kepadaku dari sana, tetapi tanpa suara, langsung ke hatiku, tanpa memandangku:
“Aneh bagimu melihatku sedikit di belakang Monsignor, bukankah begitu? Demikianlah seharusnya…. Sekalipun begitu besar kasih PutraKu kepadaku, Ia tidak memberiku martabat seperti yang Ia berikan kepada seorang imam, yakni dapat mendatangkan Putraku dalam tangan-tanganku setiap hari, seperti yang dilakukan tangan-tangan imamatnya. Karena itulah, aku merasakan hormat mendalam bagi seorang imam dan bagi segala mukjizat yang Tuhan selenggarakan melalui seorang imam, yang membuatku berlutut di sini.”
Ya Tuhan-ku, betapa martabat, betapa rahmat yang Tuhan limpahkan atas jiwa-jiwa imamat. Dan kita, bahkan mungkin sebagian dari mereka, tidak menyadarinya.
Di depan altar, mulai tampak bayangan-bayangan manusia berwarna abu-abu dengan tangan-tangan terkedang. Santa Perawan mengatakan: “Mereka ini adalah jiwa-jiwa di Api Penyucian yang menantikan doa-doa kalian agar dilegakan. Janganlah berhenti berdoa bagi mereka. Mereka berdoa bagi kalian, tetapi mereka tidak dapat berdoa bagi diri mereka sendiri. Kalianlah yang harus berdoa bagi jiwa-jiwa menderita guna menolong mereka pergi [dari api penyucian], agar mereka dapat bersama dengan Tuhan dan menikmati-Nya dalam keabadian.
Sekarang engkau lihat, aku ada di sini sepanjang waktu. Orang banyak pergi berziarah dan mencari tempat-tempat di mana aku menampakkan diri. Itu baik, sebab segala rahmat yang mereka terima di sana. Tetapi, tidak dalam penampakan manapun, pula tidak di tempat manapun, aku hadir terlebih lama [sepanjang waktu] dari di Misa Kudus. Kalian akan selalu mendapatiku di kaki Altar di mana Ekaristi dirayakan. Di kaki Tabernakel, aku tinggal bersama para malaikat sebab aku senantiasa bersama-Nya.”
Memandang wajah rupawan Bunda kita pada saat “Sanctus” itu, bersama segenap yang lainnya dengan wajah-wajah mereka yang bercahaya, tangan-tangan terkatup dalam doa, menantikan mukjizat yang berulang terus-menerus, adalah berada di surga itu sendiri. Dan memikirkan bahwa ada orang-orang yang, pada saat itu, dapat beralih perhatiannya dalam pembicaraan. Sungguh menyedihkan bahwa banyak laki-laki, lebih banyak dari kaum perempuan, yang berdiri dengan tangan terlipat, seolah memberikan penghormatan kepada Tuhan yang setara dengan mereka.
Bunda Maria mengatakan: “Katakanlah kepada semua orang bahwa tidak pernah seorang laki-laki terlebih jantan daripada saat ia bertekuk lutut di hadapan Tuhan.”
Selebran mendaraskan kata-kata Konsekrasi. Ia adalah seorang dengan tinggi badan normal, tetapi sekonyong-konyong, ia mulai bertumbuh dan dipenuhi cahaya. Suatu cahaya adikodrati antara putih dan emas melingkupinya dan semakin bertanbah kuat dalam cahaya sekeliling wajahnya, begitu rupa hingga aku tak dapat melihat wajahnya. Ketika ia mengunjukkan Hosti, aku melihat tangannya. Ada tanda-tanda di punggung kedua tangannya, dari mana memancar berlimpah cahaya. Itu Yesus!... Dia-lah yang merengkuhkan Tubuh-Nya sekeliling selebran, seolah Ia dengan penuh kasih membimbing tangan-tangan Uskup Agung. Pada saat itu, Hosti mulai bertumbuh dan menjadi sangat besar, dan di atasnya tampak Wajah Yesus yang mengagumkan, memandang kepada umat-Nya.
Secara naluri, aku hendak menundukkan kepalaku, tetapi Bunda Maria mengatakan: “Janganlah menunduk. Tegakkanlah kepalamu untuk memandang dan mengkontemplasikan Dia. Tataplah mata-Nya dan ulangilah doa Fatima: Tuhan, aku percaya, aku menyembah, aku berharap, dan aku mengasihi Engkau. Aku mohon pengampunan bagi mereka yang tidak percaya, yang tidak menyembah, yang tidak berharap, dan yang tidak mengasihi Engkau. Pengampunan dan Kerahiman…. Sekarang katakan kepada-Nya betapa engkau mengasihi-Nya dan haturkanlah sembah sujudmu kepada Raja segala Raja.”
Aku mengatakannya kepada-Nya. Tampak seolah aku adalah satu-satunya yang Ia tatap dari Hosti besar itu. Tetapi aku mengerti bahwa demikianlah Ia memandang tiap-tiap orang, dengan kasih yang sepenuh-penuhnya. Kemudian aku menundukkan kepala hingga keningku menyentuh lantai, seperti yang dilakukan segenap malaikat dan para kudus dari surga. Mungkin sekejap, aku terheran-heran bagaimana Yesus mengenakan tubuh selebran dan, pada saat yang sama, Ia berada dalam Hosti. Dan sementara Uskup Agung menurunkan Hosti, Hosti kembali ke ukurannya yang normal. Airmata mengalir menuruni kedua pipiku. Aku tak dapat lepas dari ketakjubanku.
Segera sesudahnya, Monsignor mendaraskan kata-kata konsekrasi anggur dan, sementara kata-kata didaraskan, kilat muncul di langit dan di latar belakang. Tiada lagi atap dan dinding-dinding gereja. Semuanya gelap, terkecuali cahaya cemerlang di Altar.
Sekonyong-konyong, melayang di udara, aku melihat Yesus yang tersalib. Aku melihat-Nya dari kepala hingga bagian dada sebelah bawah. Palang Salib ditopang oleh tangan-tangan yang besar dan kuat. Dari dalam cahaya yang kemilau muncul suatu cahaya gemilang yang jauh lebih kecil, serupa seekor merpati yang amat kecil dan amat cemerlang. Merpati terbang pesat satu kali mengelilingi seluruh gereja dan akhirnya bertengger di atas pundak kiri Uskup Agung, yang terus tampak bagai Yesus sebab aku dapat mengenali rambut-Nya yang panjang, luka-luka-Nya yang bercahaya, tubuh-Nya yang besar, tetapi aku tak dapat melihat wajah-Nya.
Di atasnya, Yesus yang tersalib, kepala-Nya terkulai di atas pundak kanan-Nya. Aku dapat mengkontemplasikan wajah-Nya, tangan-tangan-Nya yang memar dan daging yang terkoyak. Di sebelah kanan dada-Nya, ada suatu luka dan darah memancar keluar ke sebelah kiri; dan sesuatu yang tampak seperti air, tetapi kemilau, [memancar] ke sebelah kanan. Aliran-aliran ini lebih menyerupai pancaran cahaya yang memancar kepada umat beriman, dan bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku takjub akan banyaknya darah yang tercurah ke dalam Piala. Aku pikir darah-Nya akan meluap dan membanjiri seluruh Altar, namun tiada setetes pun yang tumpah.
Pada saat itu, Santa Perawan Maria mengatakan: “Inilah mukjizat dari segala mukjizat. Telah kukatakan kepadamu sebelumnya bahwa Tuhan tidak dibatasi waktu dan ruang. Pada saat Konsekrasi, segenap jemaat dibawa ke kaki Kalvari, pada saat penyaliban Yesus.”
Dapatkah seorang pun membayangkannya? Mata kita tidak dapat melihatnya, tetapi kita semua ada di sana tepat pada saat Yesus disalibkan. Dan Ia memohon pengampunan kepada Bapa, tidak hanya bagi mereka yang hendak membunuh-Nya, melainkan juga bagi setiap dosa kita: “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”
Sejak hari itu, aku tidak peduli apakah aku dianggap gila, tetapi aku meminta semua orang untuk berlutut dan untuk berusaha mengalami hak istimewa yang Tuhan anugerahkan kepada kita, dengan segenap hati dan dengan segala perasaan yang mampu ia ungkapkan.
Ketika kami hendak mendaraskan Bapa Kami, Tuhan berbicara untuk pertama kalinya sepanjang perayaan itu; Ia mengatakan: “Tunggu, Aku menghendaki kalian mendoakannya dengan sekhidmad mungkin. Pada saat ini, Aku menghendaki kalian memikirkan seseorang atau orang-orang yang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupmu, agar engkau dapat memeluk mereka erat-erat, dan mengatakan kepada mereka dari lubuk hatimu: `Dalam Nama Yesus, aku mengampunimu dan memberikan damaiku bagimu. Dalam Nama Yesus, aku mohon pengampunanmu dan mengharapkan damaimu bagiku.' Jika orang tersebut pantas mendapatkan damai, maka ia akan menerimanya dan mendapatkan banyak rahmat darinya; jika orang itu tidak dapat membuka hati bagi damai, maka damai akan kembali ke dalam hatimu. Tetapi Aku tidak menghendaki kalian menerima atau menawarkan damai kepada yang lain apabila kalian tidak dapat mengampuni dan merasakan damai itu terlebih dahulu dalam hatimu.
Berhati-hatilah akan apa yang kalian lakukan,” lanjut Tuhan, “kalian mengulang dalam doa Bapa Kami: ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Jika kalian dapat mengampuni tetapi tidak melupakan, seperti dikatakan sebagian orang; kalian menempatkan prasyarat atas pengampunan Tuhan. Kalian mengatakan: Engkau mengampuniku hanya karena aku dapat mengampuni, tidak lebih dari itu.”
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan kesedihanku, menyadari betapa mudahnya kita dapat menyakiti Tuhan. Juga betapa mudahnya kita dapat menyakiti diri kita sendiri dengan menimbun begitu banyak dendam, perasaan tidak enak dan hal-hal buruk yang terlahir dari prasangka kita sendiri dan karena kita terlalu mudah tersinggung. Aku mengampuni; aku mengampuni dari lubuk hatiku, dan memohon pengampunan dari semua orang yang pernah aku sakiti, agar aku dapat merasakan damai Tuhan.
Selebran mengatakan, “… berilah kami damai-Mu …” dan kemudian, “damai Tuhan sertamu.”
Sekonyong-konyong aku melihat di antara sebagian (tidak semua) orang yang saling memeluk satu sama lain, suatu cahaya yang amat kuat menempatkan diri di antara mereka. Aku tahu itu adalah Yesus, dan aku hampir-hampir melemparkan diriku untuk memeluk orang di sebelahku. Aku sungguh dapat merasakan pelukan Tuhan dalam cahaya itu. Dia-lah yang memelukku untuk memberikan damai-Nya bagiku, sebab pada saat itu aku telah dapat mengampuni dan menghapuskan dari hatiku segala kesedihan yang diakibatkan orang-orang lain. Itulah yang Yesus kehendaki, ikut ambil bagian dalam momen sukacita itu, memeluk kita guna memberikan Damai-Nya bagi kita.
Tibalah saat Komuni selebran. Di sana, sekali lagi aku melihat kehadiran semua imam lain di samping Monsignor. Ketika Monsignor menyambut Komuni, Santa Perawan Maria mengatakan:
“Inilah saatnya untuk berdoa bagi selebran dan para imam yang mendampinginya. Ulangilah bersamaku: `Tuhan, berkatilah mereka, kuduskanlah mereka, tolonglah mereka, murnikanlah mereka, kasihilah mereka, peliharalah mereka dan topanglah mereka dengan Kasih-Mu.' Ingatlah akan segenap imam di seluruh dunia. Berdoalah bagi segenap jiwa-jiwa yang dikonsekrasikan….”
Saudara dan saudari terkasih, inilah saat di mana kita seharusnya berdoa bagi mereka, sebab mereka adalah Gereja, seperti kita juga, kaum awam. Begitu banyak kali kita, kaum awam, menuntut banyak dari para imam, tetapi kita tidak dapat berdoa bagi mereka, mengerti bahwa mereka adalah manusia, dan memahami serta menghargai kesendirian yang banyak kali meliputi seorang imam.
Seharusnya kita mengerti bahwa para imam adalah manusia seperti kita juga, dan bahwa mereka butuh perhatian dan pengertian kita. Mereka membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kita sebab dalam mengkonsekrasikan diri mereka sendiri kepada Yesus, mereka memberikan hidup mereka bagi masing-masing kita, seperti yang Yesus lakukan.
Tuhan menghendaki umat dalam kawanan, yang dipercayakan Tuhan kepada imam, berdoa bagi imam mereka dan membantu dalam pengudusannya. Suatu hari, apabila kita telah berada di dunia yang lain, kita akan mengerti betapa mengagumkan yang telah Tuhan lakukan dengan memberikan bagi kita, imam-imam untuk membantu kita menyelamatkan jiwa kita.
Orang-orang mulai meninggalkan bangku mereka untuk menyambut Komuni. Saat agung perjumpaan dalam Komuni Kudus telah tiba. Tuhan mengatakan kepadaku: “Sebentar. Aku ingin engkau mengamati sesuatu….” Suatu dorongan batin membuat aku mengarahkan mataku kepada seorang yang akan menyambut Komuni di lidah dari tangan imam.
Perlu aku terangkan bahwa ia adalah salah seorang perempuan dari kelompok kami yang malam sebelumnya tak dapat Mengaku Dosa, tetapi pagi ini melakukannya sebelum Misa Kudus. Ketika imam menerimakan Hosti Kudus di lidahnya, sesuatu bagai suatu kilasan cahaya, suatu cahaya yang amat putih keemasan (yang aku lihat sebelumnya) menembusi pertama-tama punggung orang ini, dan lalu melingkupi punggungnya, pundaknya, dan kepalanya. Tuhan mengatakan:
“Begitulah bagaimana Aku bersukahati memeluk suatu jiwa yang datang dengan hati yang bersih untuk menyambut-Ku!” Nada suara Yesus adalah nada suara seorang yang bergembira.
Dengan takjub aku melihat temanku yang kembali ke bangkunya, dengan dilingkupi cahaya, dipeluk oleh Tuhan. Aku bertanya-tanya betapa banyak kita kehilangan dalam menyambut Yesus dengan pelanggaran-pelanggaran kecil ataupun pelanggaran-pelanggaran besar kita, padahal seharusnya itu adalah suatu pesta.
Kerap kita mengatakan bahwa tidak senantiasa ada imam kepada siapa kita Mengaku Dosa. Tetapi masalahnya bukan mengenai selalu pergi Mengaku Dosa. Masalahnya terletak pada mudahnya kita jatuh lagi ke dalam dosa. Di lain pihak, sama seperti halnya seorang perempuan berupaya mencari salon kecantikan atau seorang pria mencari salon potong rambut apabila hendak ke pesta, kita juga berupaya mencari imam apabila kita menghendaki segala kekotoran itu dihapuskan dari diri kita. Janganlah kita memiliki keberanian untuk menyambut Yesus setiap saat dengan hati kita yang kotor.
Ketika aku pergi menyambut komuni, Yesus mengatakan: “Perjamuan Malam Terakhir adalah saat keakraban teragung dengan DiriKu Sendiri. Pada jam kasih itu, Aku menetapkan apa yang di mata umat manusia mungkin dipandang sebagai kegilaan terbesar, yakni menjadikan DiriKu Sendiri seorang Tawanan Cinta. Aku menetapkan Ekaristi. Aku rindu tinggal bersama kalian hingga akhir waktu sebab Kasih-Ku tidak sanggup membiarkan kalian, yang Aku kasihi lebih dari Nyawa-Ku Sendiri, ditinggalkan sendirian sebagai yatim piatu….”
Aku menyambut Hosti itu yang memiliki rasa yang berbeda. Campuran darah dan dupa yang sepenuhnya merasukiku. Aku merasakan kasih yang begitu dahsyat hingga airmata membanjiri kedua pipiku tanpa aku sanggup menghentikannya.
Ketika aku kembali ke bangkuku dan mulai berlutut, Tuhan mengatakan: “Dengarkan….” Sesaat kemudian, aku mulai mendengar doa yang dipanjatkan seorang perempuan yang duduk di depanku dan yang baru saja menyambut komuni.
Apa yang dikatakannya, tanpa membuka mulutnya, kurang lebih seperti ini: “Tuhan, ingatlah bahwa kita berada di penghujung bulan, dan aku tak punya uang untuk membayar sewa, mobil dan sekolah anak-anak. Engkau harus melakukan sesuatu untuk menolongku…. Mohon, buatlah suamiku berhenti banyak minum. Aku tak tahan lagi ia begitu sering mabuk, dan putera bungsuku akan harus mengulang pelajaran lagi tahun ini jika Engkau tidak menolongnya. Minggu ini dia ujian. Dan jangan lupa bahwa tetangga kami itu harus pindah ke tempat lain. Buatlah ia pindah dengan segera sebab aku tak tahan lagi terhadapnya… dst., dst.”
Kemudian Uskup Agung mengatakan: “Marilah berdoa,” dan serentak semua jemaat berdiri untuk doa penutup. Yesus mengatakan dalam nada sedih: “Adakah engkau perhatikan? Tak satu kali pun ia mengatakan bahwa ia mengasihi Aku. Tak satu kali pun ia mengucap syukur atas karunia yang Aku anugerahkan kepadanya dengan merendahkan ke-Allah-an-Ku ke kemanusiaannya yang malang demi mengangkatnya kepada-Ku. Tak satu kali pun ia mengatakan: `Terima kasih, Tuhan.' Doanya adalah suatu litani permohonan… dan hampir semua yang datang untuk menyambut-Ku, seperti itu.
Aku telah wafat demi kasih, dan Aku bangkit kembali. Demi kasih Aku menanti masing-masing dari kalian, dan demi kasih Aku tinggal bersama kalian…. Tetapi kalian tidak sadar bahwa Aku membutuhkan kasih kalian. Ingatlah bahwa Aku seorang Pengemis Cinta dalam jam agung bagi jiwa.”
Adakah kalian semua menyadari bahwa Ia, sang Kasih, mengemis kasih kita, dan kita tidak memberikannya kepada-Nya? Terlebih lagi, kita menghindarkan diri dari datang ke perjumpaan dengan Kasih dari segala Kasih, dengan satu-satunya Kasih yang memberikan DiriNya Sendiri dalam kurban abadi.
Ketika selebran hendak menyampaikan berkat, Santa Perawan mengatakan: “Perhatikanlah, berhati-hatilah…. [Banyak dari] Kalian membuat tanda kuno dan bukannya Tanda Salib. Ingatlah bahwa berkat ini dapat menjadi yang terakhir yang kalian terima dari tangan seorang imam. Kalian tidak tahu apakah setelah meninggalkan tempat ini, kalian akan meninggal atau tidak. Kalian tidak tahu apakah kalian beroleh kesempatan untuk menerima berkat dari imam lain. Tangan-tangan yang telah dikonsekrasikan itu memberi kalian berkat dalam Nama Tritunggal Mahakudus. Sebab itu, buatlah Tanda Salib dengan hormat, seolah itulah yang terakhir dalam hidupmu.”
Betapa banyak kita kehilangan dengan ketidakpahaman dan dengan ketidakikutsertaan kita setiap hari dalam Misa Kudus! Mengapakah kita tidak berupaya untuk memulai hari setengah jam lebih awal dan bergegas datang ke Misa Kudus dan menerima segala rahmat yang rindu Tuhan limpahkan atas kita?
Aku sadar bahwa tidak setiap orang dapat ikut ambil bagian setiap hari dalam Misa karena kesibukan-kesibukan mereka, tetapi setidaknya dua atau tiga kali dalam seminggu. Walau demikian, begitu banyak orang menjauhkan diri dari Misa hari Minggu dengan alasan-alasan yang paling remeh: bahwa mereka mempunyai seorang anak, atau dua, atau sepuluh, dan karenanya mereka tidak dapat pergi ke Misa. Bagaimanakah orang dapat mengatur apabila mereka mempunyai komitmen-komitmen lainnya yang penting? Mereka membawa semua anak-anak bersama mereka, atau mereka pergi bergantian - suami pergi di jam yang satu dan isteri pada jam yang lain - dengan demikian mereka memenuhi kewajiban mereka terhadap Tuhan.
Kita punya waktu untuk belajar, untuk bekerja, untuk bersenang-senang, untuk beristirahat, tetapi KITA TIDAK PUNYA WAKTU, SETIDAKNYA PADA HARI MINGGU, UNTUK PERGI KE MISA KUDUS.
Yesus memintaku untuk tinggal bersama-Nya sedikit lebih lama sesudah Misa usai. Ia mengatakan: “Janganlah bergegas pergi begitu Misa usai; tinggallah beberapa saat bersama-Ku. Nikmatilah dan biarkan Aku menikmati kebersamaan denganmu….”
Semasa kanak-kanak, aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Tuhan tinggal bersama kita selama lima atau sepuluh menit sesudah Komuni. Aku menanyakannya kepada-Nya saat itu: “Tuhan, berapa lamakah sesungguhnya Engkau tinggal bersama kami sesudah Komuni?”
Aku pikir pastilah Tuhan tertawa atas ketololanku, sebab Ia menjawab: “Sepanjang kalian menghendaki Aku bersama kalian. Jika kalian berbicara kepada-Ku sepanjang hari, mempersembahkan beberapa kata kepada-Ku sementara kalian melakukan pekerjaan-pekerjaan kalian, Aku akan mendengarkan kalian. Aku senantiasa bersama kalian semua. Kalianlah yang meninggalkan Aku. Kalian meninggalkan Misa dan hari kewajibanmu berakhir sudah. Kalian memelihara hari Tuhan dan sekarang selesailah tugasmu. Kalian tidak berpikir bahwa Aku rindu ikut ambil bagian dalam kehidupan keluarga kalian bersama kalian, setidaknya pada hari itu.
Di rumah, kalian mempunyai tempat untuk segala sesuatunya dan ruang untuk setiap aktivitas: ruang untuk tidur, yang lainnya untuk memasak, yang lainnya untuk makan, dll, dll, …. Yang manakah tempat yang kalian peruntukkan bagi-Ku? Tempat itu bukanlah sekedar tempat di mana kalian menggantungkan suatu lukisan yang berdebu sepanjang waktu, melainkan tempat di mana setidaknya lima menit dalam sehari, keluarga berkumpul bersama untuk menyampaikan syukur terima kasih atas hari itu dan atas anugerah hidup, untuk memohon kebutuhan-kebutuhan pada hari itu, untuk memohon berkat, perlindungan, kesehatan…. Segala sesuatu mempunyai tempat dalam rumah-rumah kalian, terkecuali Aku.
Manusia merencanakan hari mereka, pekan mereka, semester mereka, liburan mereka, dst…. Mereka tahu kapan mereka akan beristirahat, kapan mereka akan pergi menonton film atau ke pesta, atau mengunjungi nenek atau cucu, teman dan sahabat mereka, anak-anak, atau pergi bersenang-senang. Berapa banyakkah keluarga yang mengatakan setidaknya sekali dalam sebulan: `Inilah hari giliran kita untuk pergi dan mengunjungi Yesus dalam Tabernakel,' dan seluruh keluarga datang untuk bercakap-cakap dengan-Ku? Berapa banyakkah yang duduk di hadapan-Ku dan berbincang dengan-Ku, menceritakan apa-apa yang terjadi sejak terakhir berjumpa, menceritakan masalah-masalahnya, kesulitan-kesulitannya, memohon pada-Ku apa yang mereka butuhkan … mengijinkan-Ku ikut ambil bagian dalam segala problematika mereka? Berapa kali?
Aku tahu semuanya. Aku membaca bahkan rahasia-rahasia terdalam yang tersembunyi dalam hati dan pikiran kalian. Tetapi Aku senang kalian menceritakan kepada-Ku segala hal mengenaimu, mengijinkan-Ku ikut ambil bagian sebagai seorang anggota keluarga, sebagai sahabat yang paling karib. Betapa banyak manusia kehilangan rahmat-rahmat dengan tidak memberi-Ku tempat dalam hidupnya!”
Ketika aku tinggal bersama-Nya pada hari itu dan pada banyak hari-hari lainnya, Ia terus menyampaikan pengajaran-Nya kepada kita. Pada hari ini aku hendak berbagi bersama kalian misi ini yang Ia percayakan kepadaku. Yesus mengatakan:
“Aku rindu menyelamatkan ciptaan-Ku, sebab saat pembukaan pintu Surga telah diresapi dengan begitu banyak sakit….” “Ingatlah bahwa bahkan tak seorang ibu pun pernah memberi makan anaknya dengan dagingnya sendiri. Aku telah melampaui tindakan Kasih yang ekstrim itu demi menganugerahkan jasa-jasa-Ku kepada kalian semua.”
“Misa Kudus adalah DiriKu Sendiri yang melestarikan hidup-Ku dan kurban-Ku di salib di antara kalian. Tanpa jasa-jasa hidup-Ku dan darah-Ku, apakah gerangan yang kalian miliki untuk datang di hadapan Bapa? Ketiadaan, kemalangan dan dosa….”
“Kalian seharusnya mengungguli para Malaikat dan para Malaikat Agung dalam keutamaan, sebab mereka tidak menikmati sukacita menyambut-Ku sebagai santapan seperti kalian. Mereka minum setetes dari mata air, tetapi kalian, yang mempunyai rahmat untuk menyambut-Ku, ada pada kalian seluruh samudera raya untuk diminum.”
Hal lain yang dibicarakan Tuhan dengan sedih menyangkut orang-orang yang pergi ke perjumpaan mereka dengan-Nya karena kebiasaan, jiwa-jiwa yang telah kehilangan keterpesonaan dalam setiap perjumpaan dengan-Nya. Yesus mengatakan bahwa rutinitas telah menjadikan sebagian orang begitu suam-suam kuku hingga tidak ada sesuatu yang baru pada mereka untuk diceritakan kepada-Nya ketika mereka menyambut-Nya. Ia juga berbicara mengenai tak sedikit jiwa-jiwa yang telah dikonsekrasikan, yang kehilangan gairah cinta kepada Tuhan, dan menjadikan panggilan mereka sebagai suatu pekerjaan, suatu profesi di mana mereka memberi tidak lebih dari apa yang diminta dari mereka, tetapi tanpa perasaan….
Kemudian Tuhan berbicara kepadaku mengenai buah-buah yang harus dihasilkan dari setiap Komuni yang kita sambut. Sungguh terjadi ada orang-orang yang menyambut Tuhan setiap hari tetapi hidup mereka tidak berubah. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu dalam doa dan melakukan banyak karya, dst, dst, tetapi hidup mereka tidak terus berubah, dan suatu jiwa yang tidak terus berubah tidak dapat menghasilkan buah-buah sejati bagi Tuhan. Jasa-jasa yang kita terima dalam Ekaristi seharusnya menghasilkan buah-buah pertobatan dalam diri kita dan buah-buah belas kasih kepada sesama saudara dan saudari.
Kita, kaum awam, mempunyai peran amat penting dalam Gereja kita. Kita tidak mempunyai hak untuk tinggal diam, sebab Tuhan telah mengutus kita, semua orang yang dibaptis, untuk pergi dan mewartakan Kabar Baik. Kita tidak mempunyai hak untuk menyerap segala pengetahuan ini dan tidak membagikannya kepada yang lain juga, dan membiarkan saudara saudari kita mati kelaparan sementara ada begitu banyak roti di tangan kita.
Kita tidak dapat melihat Gereja kita hancur sementara kita dengan nyaman tinggal dalam paroki-paroki dan rumah-rumah kita, menerima dan menerima begitu banyak dari Tuhan: Sabda-Nya, homili imam, ziarah, Kerahiman Ilahi dalam Sakramen Rekonsiliasi, persatuan mengagumkan dan santapan rohani dari Komuni Suci, khotbah para pewarta.
Dengan kata lain, kita menerima demikian banyak dan kita tak memiliki keberanian untuk meninggalkan zona nyaman kita dan pergi ke penjara, ke lembaga rehabilitasi dan berbicara kepada mereka yang paling membutuhkan. Mengatakan kepada mereka untuk tidak menyerah, bahwa mereka dilahirkan Katolik dan bahwa Gereja membutuhkan mereka di sana, menderita, sebab penderitaan mereka berguna untuk menebus yang lainnya, sebab kurban itu akan memperolehkan bagi mereka kehidupan abadi.
Kita tak sanggup mengunjungi rumah-rumah sakit, pergi kepada mereka yang sakit parah, dan mendaraskan Koronka Kerahiman Ilahi demi menolong mereka dengan doa-doa kita sepanjang masa pergulatan antara yang baik dan yang jahat, dan demi membebaskan mereka dari jerat dan pencobaan-pencobaan setan. Setiap orang yang berada di ambang maut menghadapi ketakutan, dan mereka merasa terhibur apabila sekedar kita memegang tangan mereka dan berbicara kepada mereka mengenai kasih Allah dan sukacita yang menanti mereka di Surga, dekat dengan Yesus dan Maria, dekat dengan orang-orang yang mereka kasihi yang telah meninggal dunia.
Jam di mana kita sekarang hidup tidak mengijinkan kita untuk acuh tak acuh. Kita haruslah menjadi perpanjangan tangan para imam kita dan pergi ke tempat yang tak terjangkau oleh mereka. Tetapi agar kita mendapatkan keberanian untuk melakukannya, kita harus menyambut Yesus, hidup bersama Yesus, dan menghidupi diri dengan Yesus.
Kita takut untuk memberikan komitmen sedikit lebih jauh. Ketika Tuhan bersabda, “Carilah dahulu Kerajaan Allah, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” Ia mengatakan semuanya, saudara dan saudariku. Artinya mencari Kerajaan Allah dengan segala cara yang mungkin dan melalui segala sarana yang ada, dan… membuka tangan kita demi menerima SEMUANYA sebagai tambahan! Ini karena Ia adalah Tuan, yang mengganjari dengan yang terbaik; Ia satu-satunya yang memberikan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan kalian yang paling remeh sekali pun.
†
Saudara dan saudari, terima kasih telah mengijinkanku melaksanakan misi yang dipercayakan kepadaku, yakni bahwa halaman-halaman ini sampai kepada kalian.
Di kali mendatang kalian ikut ambil bagian dalam Misa Kudus, alamilah. Aku tahu bahwa Tuhan akan menggenapi bagi kalian janji-Nya bahwa “Misa kalian tidak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya,” dan ketika kalian menyambut-Nya, kasihilah Dia! Nikmatilah kemanisan merasakan diri kalian sendiri beristirahat dalam luka di lambung-Nya, yang ditembusi bagi kalian demi meninggalkan Gereja-Nya dan BundaNya bagi kalian; demi membukakan bagi kalian pintu Rumah BapaNya, agar kalian dapat merasakan sendiri Kasih-Nya yang Maharahim melalui kesaksian ini, dan berusaha untuk membalas-Nya dengan kasih kekanak-kanakkan kalian.
Kiranya Tuhan memberkati kalian di Masa Paskah ini.
Saudarimu dalam Yesus yang Hidup,
Catalina
Misionaris Awam dari Hati Ekaristis Yesus
0 komentar:
Post a Comment