Taburkanlah ya Tuhan Sabda Kehidupan
Tanamkanlah Sabda-Mu di hati kami
Agar kami mengenal-Mu
Agar kami hidup dalam-Mu
Agar kami tak sesat jalan
Agar kami bersatu
Siapa yang akan menyanyikan syair di atas dengan mantap kalau bukan mereka yang merasa diri orang beriman? Mungkinkah orang berseru “Terpujilah Kristus” dengan segenap hati kalau tidak memiliki iman?
IMAN: RAHMAT YANG MEMBANGGAKAN
Iman kita perlu dihidupi, agar tak layu dan kering. Artinya iman itu perlu dipelihara dan ditumbuhkembangkan. Iman kita akan Kristus yang bangkit perlu dijaga agar tidak pudar. Iman adalah rahmat, ibarat benih yang siap bertumbuh dan menjadi besar. Tetapi bila benih itu tidak terawat, ia tidak akan mampu bertahan, apalagi bertumbuh, melainkan menjadi layu dan kering. Kalau tidak tumbuh, bagaimana akan berbuah?
Karena iman adalah rahmat, maka perlu kita menerima dan memeliharanya dengan bangga. Seorang beriman tentu akan bangga dengan imannya. Masih ingat ajakan imam setelah konsekrasi dalam Ekaristi Kudus? “Agungkanlah iman kita!” Lalu umat menjawab secara aklamasi, “Tuhan, Engkau sudah wafat, Tuhan, Engkau kini hidup, Engkau Sang Juru Selamat: datanglah, ya Yesus Tuhan.” Kebanggaan umat Katolik akan imannya tampak jelas dalam ungkapan itu. Kita mengimani misteri Allah yang agung, karena itu iman kita pun agung, dan sudah sepantasnya kita agungkan dalam pikiran, dengan perkataan, dan perbuatan.
Sejak awal Gereja rupanya sudah disadari pentingnya pemeliharaan iman umat. Oleh karena itu, berbagai macam usaha dilakukan. Segala usaha baik yang pernah dilakukan itu juga tetap dijaga, dan menjadi tradisi iman. Tradisi itu bukan sekedar kebiasaan yang digemari, tetapi tradisi itu bernilai bagi umat beriman karena menghantar orang kepada Tuhan. Dari situlah Gereja masa kini menemukan dirinya begitu kaya dengan tradisi, yakni segala usaha luhur untuk menyelami misteri penyelamatan Ilahi sekaligus merayakannya dengan bangga. Kebanggaan Gereja akan imannya terekam amat indah dalam syair Pujian Malam Paskah: “Bersoraklah! Nyanyikan lagu gembira bagi Kristus yang menebus kita, bersyukurlah kepada Allah, kita bangkit bersama Kristus …”
MENGUNGKAPKAN DAN MERAYAKAN IMAN
Kita tidak bisa melihat iman atau kedalaman iman seseorang. Yang bisa kita lihat hanyalah tanda-tanda seseorang itu beriman, misalnya ia berkumpul dan berdoa bersama dengan rekannya seiman. Sulit untuk dimengerti bila orang yang mengaku beriman, tetapi tidak pernah tampak berkumpul dan berdoa bersama dengan saudaranya seiman. Dalam kebersamaan itulah setiap pribadi beriman saling memperkaya dan meneguhkan satu sama lain. Doa menjadi salah satu ungkapan iman yang memadai untuk memelihara dan menumbuhkan semangat kebersamaan umat yang bersekutu karena iman yang sama. Dalam doa itu pula persatuan umat dengan Allah menemukan maknanya.
Tetapi sulit dimengerti juga apabila seseorang mengaku beriman tetapi tutur kata dan tindakan-tindakannya tidak mencerminkan apa yang diimaninya. Bisa jadi ada umat yang rajin untuk mengikuti ibadat-ibadat, tetapi dalam keseharian, ia membuat orang lain gusar. Orang lain gusar bukan karena ia mengatakan atau melakukan kebenaran sebagaimana diajarkan oleh Yesus, tetapi karena kata-kata dan tindakannya justru bertentangan dengan yang semestinya dilakukan oleh orang beriman. Bila ini terjadi tampaknya ada yang hilang dalam diri orang tersebut. Ia kehilangan makna ibadat-ibadat yang dilakukannya. Jangan-jangan sesungguhnya ia tidak menyadari makna perayaan iman yang dilakukannya?
Umumnya ungkapan iman Gereja berupa doa, pengakuan, permohonan, gerak-gerik, dan lain-lain, dirumuskan dan ditata dengan cermat, tidak sembarangan. Itu dimaksudkan agar siapapun yang mengikuti perayaan / ibadat bersama itu memperoleh inspirasi dan berkembang secara rohani dalam iman yang benar. Oleh karena itu, kalau setiap pribadi memperhatikan dan terlibat secara aktif dalam seluruh perayaan itu dengan segenap hati, akal budi dan kekuatannya, sebetulnya ia memperoleh banyak sekali hal yang penting bagi perkembangan hidupnya.
Perayaan iman adalah perayaan pertemuan antara umat manusia dengan Sang Khalik. Perjumpaan itu menjadi nyata bila ada keterbukaan hati manusia untuk menyambut kehadiran-Nya dalam perayaan itu. Bila perjumpaan itu terjadi, peristiwa itu akan menjadi kerinduan hati setiap pribadi untuk kembali merayakannya. Umat merayakan iman bukan karena kewajiban, tetapi karena kerinduan hati yang mendalam untuk berjumpa dengan Allah yang mengasihinya.
Perayaan ditata sedemikian rupa, sehingga mencerminkan kecintaan dan hormat umat kepada Allah. Seluruh bagian upacara disiapkan dan ditata sebaik mungkin. Tak heran bila kini kita menjumpai Gereja sangat kaya dengan karya-karya gemilang yang mewarnai perayaan imannya: lagu-lagu, musik, tarian, arsitektur, gerak-gerik, dan lain-lain. Semuanya itu diadakan dan dilakukan oleh umat agar perayaan perjumpaan dengan Allah itu agung, anggun, khidmat, berkenan kepada Allah serta mendatangkan rahmat bagi Gereja-Nya. Semakin dekat umat dengan Tuhan, sewajarnya ia semakin rindu untuk berjumpa dengan Dia dalam perayaan itu. Semakin sering umat merayakan perjumpaan dengan Tuhan semakin besar kasih Allah dalam dirinya. Semakin besarnya kasih Allah dalam dirinya membuatnya semakin bersukacita. Semakin besar sukacita dalam umat, semakin besar pula kerinduan hati untuk berbagi sukacita itu dengan saudara-saudara lainnya.
MERAYAKAN SEMANGAT PERAYAAN KE HIDUP HARIAN
Yakobus mengatakan: “Jika iman itu tidak disertai pebuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati” [Yak 2:17]. Bila perayaan iman hanya sekadar perayaan tanpa ada tindak lanjutnya, maka perayaan itu tidak akan pernah mengubah apapun, mati. Semangat yang terkandung dalam rumusan iman, homili, doa-doa, seruan-seruan menuntun kita untuk bertindak atas dasar Kasih. Simbol-simbol yang kita pakai mengingatkan kita bahwa Allah yang kita imani sesungguhnya hadir secara nyata dalan hidup harian kita. Allah tidak jauh dari hidup kita, hanya sejauh doa. Perayaan iman kita akan menjadi lengkap bila spirit perayaan itu menjiwai dan mendorong kita untuk mewujudkannya dalam hidup harian.
Perayaan iman yang sarat dengan makna tidak pertama-tama ditujukan demi perayaan itu semata. Tetapi perayaan iman juga diharapkan akan membawa perubahan bagi manusia dan dunianya. Ke dalam perayaan, umat membawa segala usaha dan karya, keluh kesah dan permohonan, tetapi sekaligus juga kerinduan untuk memperoleh peneguhan dan semangat baru untuk menapaki hidup yang penuh liku. Oleh karena itu, cakupan perayaan iman itu sangatlah luas, membentang tak terbatas. Segala aspek hidup manusia yang hadir maupun yang dihadirkan dalam doa menyatu dalam perayaan itu. Dengan demikian, perayaan iman tidak pernah dapat dipisahkan dari hidup harian umat. Tak pernah ada perayaan kalau tidak ada hidup harian. Demikian pula hidup harian tidak memiliki makna tanpa adanya perayaan. Perayaan menegaskan arti hidup bagi kita.
Selesai perayaan, umat kembali ke hidup sehari-hari, bergaul kembali dengan keluarga, komunitas, masyarakat, dan segala rutinitas serta permasalahannya. Nilai-nilai indah yang ditaburkan dalam perayaan kini tertanam di hati umat dan dibawa ke hidup harian. Perlu perjuangan dan kesetiaan untuk menjaganya. Dalam pengalaman umat, nilai-nilai itu sendiri tidak saja perlu dijaga, malah sebaliknya memberi daya yang memampukan setiap pribadi menghadapi tantangan hidupnya. Umat menjadi lebih tabah, sabar, bersemangat, jujur, murah hati, dan setia. Kepedulian dan semangat pelayanan umat kepada mereka yang membutuhkan juga meningkat dan berdaya tahan.
Iman membentuk kita menjadi lebih arif, terbuka, rendah hati, dan tidak mudah tersinggung. Umat pun menjadi siap untuk melakukan pelayanan kepada siapapun ketika Sabda Yesus bergema dalam hatinya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” [Mat 25:40]. Inilah spirit yang diperoleh umat dari perayaan imannya. Mungkin tidak kita sadari, tetapi kekuatan itu ada dan menggerakkan kita. Semakin terbuka hati kita, semakin kekuatan Roh Allah itu menampakkan pesonanya dalam hidup kita. Roh itu mengubah kita dari hari ke hari.
Semangat perayaan iman yang tertanam di hati harus juga berdampak di medan bakti. Allah yang kita imani tidak hanya ada dalam gedung gereja. Ia juga meresapi seluruh kehidupan kita. Roh Allah tidak hanya berkarya dalam perayaan umat-Nya saja, tetapi juga dalam bentangan peristiwa hidup harian kita. Gema kuasa-Nya yang sama kita rasakan dalam perayaan, juga bekerja secara mengagumkan di tempat dan situasi lain.
Tuhan yang kita muliakan dalam perayaan, adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan yang menyertai dan memelihara kita. Ia jugalah Tuhan yang memberi kita kekuatan untuk bekerja. Ia menyelami segala gerak-gerik dan isi hati kita. Kita tak mungkin menipu Dia. Mungkin yang paling sering: kita menipu diri kita sendiri dengan dusta, ketidakjujuran, penindasan dan ketidakadilan terhadap sesama kita. Saat kita melakukannya Ia ada. Kalau Ia ada kenapa diam saja? Karena Ia menghormati pilihan kita. Kini, kalau kita tahu bahwa Ia menghormati kita, bagaimana seharusnya kita menghormati Dia? Apakah dengan tanpa malu melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum Kasih-Nya? Ataukah pura-pura menjadi orang baik di hadapan-Nya? Bila demikian mari kita simak nasihat Gereja: “…sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan. Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya” [Yak 1:6b-8]. Selanjutnya kita juga diingatkan: “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” [Yak1:22]. Pendeknya, kita diajak untuk membangun integritas [keutuhan pribadi] dan kredibilitas [dapat dipercaya] berdasarkan iman kita. Kedua hal itu menjadi modal penting bagi kita untuk menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat kita.
Dalam perayaan iman kita, Allah memberikan Roh-Nya. Dan secara khusus dalam perayaan Ekaristi, Yesus memberikan Tubuh dan Darah-Nya sendiri dalam rupa roti dan anggur. Itu Ia lakukan sebagai tanda cinta-Nya kepada kita. Tubuh-Nya yang kita santap menyatu dengan seluruh diri kita. Ia ada dalam kita, dan kita ada dalam Dia. Itu berarti kita menjadi bagian dari Dia yang kudus, penuh kasih, taat kepada Bapa, peduli, siap untuk melayani…, yah, kita harus juga berpikir, bersikap, dan bertindak seperti Yesus sendiri. “Ku mau seperti Kau Yesus, disempurnakan slalu …” Itu berarti kita harus menjaga kekudusan diri kita baik dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Kalau Yesus sendiri telah memberikan seluruh diri-Nya bagi kita, apa yang bisa kita berikan kepada-Nya? Ketika kita berbagi kasih dengan sesama kita, disitulah kita mewujudkan semangat Ekaristi kita.
PEMBARUAN TAK KUNJUNG PUTUS
Tak perlu diragukan lagi, iman kita akan Kristus mendorong kita untuk menciptakan suasana yang baik bagi setiap orang untuk bertumbuh sebagai manusia utuh. Yesus tidak pernah mengajar kita menjadi umat yang egois. Kita bisa perhatikan bagaimana rumusan doa yang Ia wariskan kepada kita: “Bapa kami yang ada di surga, … Berilah kami rezeki …, dan ampunilah kesalahan kami …” Yesus mengajari kita berdoa sebagai komunitas. Ia menunjukkan bahwa Allah adalah Bapa bagi semua manusia. Ia mendorong kita untuk membawa orang lain juga dalam doa-doa kita, bukan berdoa bagi diri sendiri melulu. Mengampuni orang lain, itu bukan tindakan yang mudah. Tetapi pengampunan adalah bagian penting dari martabat kemanusiaan kita. Pengampunan adalah usaha kita untuk menjaga kekudusan martabat kita sebagai citra Allah. Pengampunan memungkinkan adanya pendamaian. Tanpa pengampunan tidak ada perdamaian. Demikian halnya bila Allah tidak mengampuni kita, maka kita tidak mungkin bisa berdamai dengan Allah. Oleh karena itu, Yesus mengajar kita untuk membuka hati dan mengampuni sesama yang bersalah. Di saat yang sama ketika kita mengampuni, kita juga terbuka terhadap pengampunan Allah kepada kita. “…, dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia berlimpah-limpah, …” [Rom 5:20a], itulah rahmat pengampunan.
Dalam Kisah mengenai orang Samaria yang baik hati [lihat Luk 10:25-37], Yesus mengajarkan kepada kita untuk menjadi umat yang peduli. Merayakan iman, berdoa, itu baik, tetapi harus juga dibarengi dengan tindakan nyata. Kalau Allah saja sangat peduli dengan orang-orang yang lemah, miskin, dan tertindas, sudah seharusnya umat-Nya juga demikian.
Merayakan iman mungkin mudah, kalau sekadar mengikuti, apalagi kalau hanya pasif: datang, duduk, diam, setelah selesai pulang. Tetapi tak semudah memaknai dan mewujudkannya dalam hidup. Memelihara iman lebih tidak mudah. Diam saja atau sekadar mengikuti rutinitas bukanlah cara memelihara iman yang baik. Iman adalah talenta yang perlu digandakan dengan tindakan aktif. Ibarat pisau, semakin sering diasah, semakin tajam. Jadi bagaimana cara memelihara iman yang baik? Jawabannya berlimpah-limpah dapat kita temukan dalam Kitab Suci, Tradisi, dan Ajaran Gereja kita.
Merayakan iman berarti bersedia untuk memperbarui hidup terus menerus, tak pernah berhenti. Mengapa demikian? Karena kita sadar bahwa kita adalah orang-orang berdosa yang hanya bergantung pada belaskasih Allah. Kalau kita sudah merasa diri kudus, tidak punya dosa lagi, kita tak perlu lagi merayakan iman. Tapi benarkah kita tak berdosa lagi? Bagaimana kita akan mendapatkan belas kasih Allah kalau kita tidak mau mengakui dosa kita? Bagaimana Allah akan memberikan rahmat-Nya kalau kita tidak membuka hati dan menerima-Nya? Kristus datang ke dunia untuk memanggil orang-orang yang berdosa. ***
* P. Ferry Indrianto, SS.CC adalah Pastor Paroki St. Gabriel, Bandung
0 komentar:
Post a Comment