oleh: P. William P. Saunders *
Sepanjang Tahun Ekaristi, paroki saya (dan paroki-paroki lain sekitarnya) mengadakan adorasi sepanjang hari dan juga pujian kepada Sakramen Mahakudus. Saya dibesarkan di New Jersey, dan saya sama sekali tidak tahu menahu mengenai devosi ini. Hanya setelah pindah ke sini saya mendengar mengenainya. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Potomac Falls
Sungguh sayang, ketidaktahuan akan pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus bukanlah hal yang luarbiasa sekarang ini. Saya ingat ketika saya masih kanak-kanak sekitar tahun 1960-an, dalam kesempatan-kesempatan khusus di paroki saya, Gereja St Bernadette di Springfield, diadakan pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus. Lalu, entah karena alasan apa, ritual yang indah ini menghilang. Saya tidak ingat pernah menjumpai praktek ini lagi hingga saya masuk seminari pada tahun 1979, di mana kami mengadakan pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus pada Vesper (= Ibadat Sore) hari Minggu, Jam Suci hari Rabu, dan 40 Jam Devosi. Ketika saya ditugaskan sebagai pastor mahasiswa, saya mendapati sebagian mahasiswa tidak pernah melihat pentahtaan atau pujian kepada Sakramen Mahakudus, dan bahkan tidak mengerti sama sekali apa arti istilah ini. Di paroki tempat saya ditugaskan sekarang, kami mengadakan pujian kepada Sakramen Mahakudus bersamaan dengan prosesi bulan Mei; pada prosesi Mei kami yang pertama di tahun 2001, banyak dari antara para orangtua dan hampir semua anak-anak tidak pernah melihat pujian kepada Sakramen Mahakudus. Sungguh suatu hal yang sangat menyedihkan.
Pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus bukan hanya merupakan suatu devosi yang sudah sangat kuno dalam Gereja kita, melainkan juga merupakan suatu devosi yang menekankan misteri pokok Ekaristi Kudus - bahwa Tuhan kita sungguh hadir, Tubuh dan Darah, jiwa dan ke-Allah-an-Nya dalam Sakramen Mahakudus. Dalam surat Kamis Putih kepada para imam, “Dominicae cenae” (Perjamuan Tuhan, 1980), Paus Yohanes Paulus II menulis, “Oleh sebab misteri Ekaristi ditetapkan karena kasih, dan menjadikan Kristus hadir secara sakramental, maka layak akan syukur dan sembah sujud. Dan sembah sujud ini haruslah menjadi yang utama dalam segala perjumpaan kita dengan Sakramen Mahakudus...” (No. 3). Sembari menekankan pentingnya Misa Kudus, Bapa Suci kemudian menganjurkan berbagai bentuk devosi kepada Ekaristi: doa pribadi dan adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus, Empatpuluh Jam devosi, prosesi Sakramen Mahakudus, Kongres Ekaristi, dan perayaan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (= Corpus Christi) secara istimewa. Segala bentuk devosi ini yang berfokus pada Sakramen Mahakudus membantu kita dalam persatuan rohani dengan Tuhan. Seperti disabdakan Yesus, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh 6:35).
Ritual pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus seperti disajikan oleh Kongregasi untuk Ibadat (1973) pada dasarnya mengikuti ritual sebagai berikut: Imam menempatkan Sakramen Mahakudus dalam sebuah monstrans atau ostensorium di atas altar untuk adorasi. (Sibori berisikan Sakramen Mahakudus dapat juga dipergunakan, tetapi monstrans memungkinkan umat beriman untuk memandang Ekaristi Kudus.) Pada saat ini, suatu madah pujian (seperti O Salutaris Hostia) dinyanyikan sementara imam mendupai Sakramen Mahakudus. Sepanjang periode adorasi, umat beriman dapat berdoa dengan tenang dan membangun suatu komunio rohani yang lebih mendalam dengan Tuhan. Namun demikian, periode adorasi hendaknya mencakup pula doa-doa, seperti Novena atau Ibadat Harian, dan bacaan-bacaan dari Kitab Suci yang diikuti mungkin dengan suatu homili atau suatu anjuran untuk meningkatkan pemahaman umat beriman akan misteri Ekaristi. Di akhir periode adorasi, imam sekali lagi mendupai Sakramen Mahakudus sementara sebuah madah pujian dinyanyikan (misalnya Tantum Ergo), dan kemudian imam memberkati umat beriman dengan membuat tanda salib dengan Sakramen Mahakudus. Setelah Berkat Ekaristi, imam menyimpan Sakramen Mahakudus dalam tabernakel.
Ritual ini tampaknya muncul sekitar penetapan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus oleh Paus Urbanus IV pada tahun 1264. Pada hari raya ini, Ekaristi Kudus dibawa dalam suatu prosesi dalam bejana-bejana serupa monstrans kita sekarang, yang memungkinkan umat beriman memandang Sakramen Mahakudus. Lama-kelamaan muncul suatu kebiasaan, khususnya di Jerman, mentahtakan Sakramen Mahakudus secara terus-menerus di semua gereja-gereja.
Pada masa yang sama, anggota persekutuan mulai berkumpul untuk memadahkan kidung-kidung pujian pada sore hari sesudah kerja, demi menghormati Santa Perawan Maria. Teristimewa, madah Salve Regina - yang digubah pada abad kesebelas - menjadi populer dalam devosi-devosi ini. Ibadat yang dilakukan sore hari ini di Perancis disebut Salut.
Dua atau tiga abad sesudahnya, kedua ibadat ini tampaknya telah menyatu. Umat beriman akan berkumpul, biasanya pada sore hari untuk memadahkan doa-doa, teristimewa demi menghormati Santa Perawan Maria. Sakramen Mahakudus akan ditahtakan, lagi doa-doa akan dimadahkan atau didaraskan, dan ibadat akan diakhiri dengan pujian kepada Sakramen Mahakudus. Menariknya, pujian kepada Sakramen Mahakudus ini hingga kini di Perancis masih dikenal sebagai Le Salut Tres Saint Sacrement. Di Indonesia, Pujian kepada Sakramen Mahakudus sering disebut juga sebagai Salve atau Astuti (bahasa Jawa yang berarti “pujian”).
Pada masa pergolakan oleh kaum Protestan, Luther, Calvin dan Zwingli menolak keyakinan akan Kurban Kudus Misa, imamat, transsubstansiasi dan kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi. Dengan demikian, mereka juga menolak devosi-devosi seperti adorasi dan pujian kepada Sakramen Mahakudus. Sebagai tanggapan, Konsili Trente dalam “Dekret mengenai Sakramen Ekaristi” (1551) mengajarkan, “Sebab itu, tidak ada ruang untuk meragukan bahwa segenap umat beriman Kristus, sesuai dengan tradisi terus-menerus Gereja Katolik, wajib menghormati Sakramen Mahakudus ini dengan penghormatan latria yang ditujukan kepada Allah yang benar. Jangan pula terjadi Sakramen Mahakudus kurang dihormati, sebab ia ditetapkan oleh Kristus Tuhan untuk diterima. Sebab di dalamnya kita percaya bahwa Tuhan yang sama hadir, Dia yang oleh Bapa yang kekal dibawa ke dalam dunia dengan mengatakan, `Biarlah segenap malaikat Tuhan sujud menyembah-Nya', Dia kepada siapa para majus sujud menyembah, dan yang terakhir, Dia yang disembah oleh para rasul di Galilea seperti dicatat dalam Kitab Suci....” Konsili mengutuk mereka yang menolak ajaran ini dan mereka yang bersikukuh “bahwa Sakramen Mahakudus tidak untuk dihormati dengan perayaan-perayaan yang istimewa ataupun dibawa dengan khidmad dalam prosesi sesuai dengan ritus universal yang layak dipuji dan tradisi Gereja yang kudus, atau bahwa Sakramen Mahakudus tidak untuk ditahtakan secara publik demi adorasi umat beriman....”
Dalam ajarannya, Bapa Suci Yohanes Paulus II menekankan pentingnya adorasi Sakramen Mahakudus, “Penghormatan terhadap Ekaristi di luar Misa adalah harta yang tak ternilai untuk hidup Gereja. Penghormatan ini berhubungan hakiki dengan perayaan Kurban Ekaristi.... Menjadi tanggung jawab para gembala, juga lewat kesaksian pribadi, mendorong adorasi Ekaristi dan khususnya eksposisi Sakramen Mahakudus ini, di samping doa adorasi depan Kristus yang hadir dalam rupa Ekaristi” (Ecclesia de Eucharistia, No. 25).
Dalam memaklumkan Tahun Ekaristi (Oktober 2004 - Oktober 2005), Bapa Suci Yohanes Paulus II sekali lagi mendesak umat beriman, “Sepanjang tahun ini, adorasi terhadap Sakramen Mahakudus di luar Misa hendaknya menjadi komitmen khusus bagi setiap paroki dan komunitas religius. Marilah kita meluangkan waktu untuk bersembah sujud di hadapan Yesus yang hadir dalam Ekaristi, guna menyilih dengan iman dan kasih kita, segala tindakan ceroboh dan lalai, dan bahkan penghinaan yang harus diderita Juruselamat kita di banyak belahan dunia. Marilah kita, melalui adorasi, memperdalam kontemplasi pribadi maupun bersama, mempergunakan pertolongannya untuk masuk ke dalam doa yang diilhami oleh Sabda Allah dan masuk ke dalam pengalaman bergitu banyak mistikus, baik yang lama maupun baru. Rosario itu sendiri, apabila dipahami secara mendalam dalam bentuk biblis dan Kristosentris, yang saya anjurkan dalam surat apostolik `Rosarium Virginis Mariae,' akan terbukti sebagai suatu pengantar yang teristimewa sangat pas kepada kontemplasi Ekaristi, suatu kontemplasi yang dilakukan bersama Bunda Maria, sebagai pendamping dan pembimbing kita” (Mane nobiscum Domine, No. 18).
Dalam suatu cara yang sangat pribadi, Bapa Suci juga merefleksikan, “Betapa menyenangkan berhening bersama Dia, bersandar ke dada-Nya, seperti Murid Tercinta, sambil merasakan kasih tak terbatas dari hati-Nya. Bila pada dewasa kita, orang-orang Kristiani harus dibedakan terutama oleh `seni berdoa', bagaimana kita tidak merasa kebutuhan baru berwawancara rohani pada keheningan sujud, dalam kehangatan cinta, di depan Kristus, yang hadir dalam Sakramen Mahakudus? Saudara saudariku, betapa seringnya saya mengalami ini, yang daripadanya saya menimba kekuatan, hiburan dan topangan!” (Ecclesia de Eucharistia, No. 25).
Beberapa paroki dalam keuskupan kami mengadakan pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus setiap minggu bersama dengan doa-doa novena atau sebagai bagian dari program adorasi abadi. Paroki-paroki lain telah menambahkan devosi ini sepanjang Tahun Ekaristi. Tanyakanlah apakah parokimu juga mengadakan devosi yang indah kepada Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus. Luangkanlah waktu untuk berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus. Apabila Tuhan bertanya kepada kita seperti kepada para rasul di Taman Getsemani, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” Apakah jawab kita?
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Benediction of the Blessed Sacrament” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
tambahan : “Kamus Liturgi Sederhana” oleh Ernest Maryanto; Penerbit Kanisius 2004
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
0 komentar:
Post a Comment