September 4, 2015

UANG = JALAN KE “SORGA” ATAU KE “NERAKA”?


Krismon atau Krisis Moneter, begitulah istilah yang pernah mencuat kuat di negara kita akhir-akhir-akhir ini. Dampak dari krisis tersebut antara lain pengangguran yang mengarah ke berbagai bentuk tindak kejahatan. Mengapa krisis? Kalau kita lihat dan refleksikan dengan cermat aneka macam bentuk ketegangan yang terjadi, baik di dalam masyarakat, negara maupun aneka karya pelayanan Gereja, dalam bahasa sehari-hari, alasan dan sebab ketegangan adalah UUD (Ujung-Ujungnya Duwit/Uang). Harus diakui banyak orang pandai/mahir mencari uang tetapi belum tentu mahir mengurus uang. Bahkan dapat dikatakan semua orang senang uang, tetapi untuk mengurusnya dengan baik layak untuk dipertanyakan.

Uang adalah sarana/jalan

“Manusia…harus memandang hal-hal lahiriah yang dimilikinya secara sah bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya” (Konsili Vatikan II: GS no 69). Dengan dan melalui uang orang dengan mudah untuk pergi kemana-mana dan dalam arti itu orang semakin memiliki banyak relasi atau mengenal lebih banyak sesamanya. Mereka yang tidak memiliki uang secara kongkret terbatas juga langkah, gerak serta relasinya. Dengan kata lain uang merupakan sarana atau jalan.

Sebagai jalan atau sarana, sebagaimana ketika jalan itu baru selesai dibuat atau dibangun, ketika masih baru sungguh menarik. Tetapi setelah sekian lama digunakan, jika tidak ada perawatan atau pengurusan yang memadai atas jalan tersebut, jalan dapat tidak menarik lagi, tidak membuat para pengguna jalan berbahagia, tetapi sebaliknya para pengguna jalan dapat marah-marah, saling memusuhi. Demikianlah halnya dengan uang. Ketika uang mulai “berjalan-jalan” alias digunakan, jika para pengguna kurang terampil dan mahir di dalam menggunakannya atau mengurusnya, ia dapat menimbulkan berbagai masalah yang dapat membuat tegang di antara para pengguna uang tersebut. Dengan kata lain pada dasarnya uang atau harta benda pada umumnya bersifat netral, ia sangat tergantung dari para penggunanya, ‘the man behind the gun’.

Permasalahan muncul ketika orang lebih memperhatikan jalan atau uangnya dari para orang atau penggunanya, atau lebih memperhatikan ‘the gun’ daripada ‘the man’ nya. Dan inilah secara jujur harus kita akui apa yang sungguh terjadi di antara kita. Maklum kita adalah anak bangsa, di mana bangsa kita secara politis lebih menekankan ‘material investment’ daripada ‘human investment', lebih menekankan yang kelihatan daripada yang tidak kelihatan,dst.. Sebagai contoh: pinjam uang jutaan US$ dari luar negeri untuk membangun phisik atau gedung-gedung, bukan untuk memajukan pendidikan, dan sekarang nampak hasilnya mutu pendidikan alias mutu bangsa kita sungguh terperosok. Jalan-jalan dibangun di mana-mana, tetapi para pengguna jalan tdak dididik dengan memadai bagaimana menjadi pengguna jalan. Dalam pemahaman macam-macam itulah uang dapat menjadi jalan ke “neraka”. Bagaimana uang dapat menjadi jalan ke “sorga?” Jawabnya sederhana: para pengguna uang harus mahir menggunakan atau mengurusnya. Memang pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana mengurusnya?

Administrator = pengurus?

Kata kerja administrare (bahasa Latin) berarti mengurus atau mengelola. Dari akar kata ini muncul kata administrasi yang berarti pengurusan dan yang mengurus disebut administrator. Bukankah kalau kita cermati banyak administrasi pekerjaan di kantor-kantor kita sering amburadul alias tidak diurus dengan baik atau dengan kasar dapat dikatakan pengurus tidak becus.

Tugas sebagai pengurus memang berat dan sungguh membutuhkan pengorbanan. Di dalam Undang-Undang Yayasan, yang katanya akan sedikit direvisi, dikatakan bahwa mereka yang menjadi pengurus yayasan di satu pihak tidak boleh memperkaya diri dengan harta kekayaan yayasan dan di lain pihak kalau pengurus lalai atau menyelewengkan tujuan harta kekayaan yayasan diancam hukuman. Dari catatan ini dapat dimengerti dengan jelas bahwa mereka yang menjadi pengurus adalah sungguh-sungguh orang yang terampil dalam hal administrasi sekaligus jujur atau disiplin, tidak boleh korupsi sedikitpun.

Dalam hal mengurus uang apa yang disebut catatan harian atau jornal merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar, harus dibuat dengan teliti dan benar. Dalam hal catatan ini saya sangat terkesan dengan apa yang dikerjakan oleh Bapak Justinus Kardinal Darmoyuowo pr alm., ketika beliau pensiun sebagai uskup dan kemudian menjadi pastor paroki di Banyumanik, Semarang Selatan. Setelah beliau dipanggil Tuhan, saya temukan dua buah buku catatan harian keuangan . Dua buku tersebut berisi catatan keuangan harian yang beliau tangani terhitung sejak 1 Desember 1981 s/d 27 Januari 1994 (dua hari sebelum beliau masuk rumah sakit dan kemudian dipanggil Tuhan tgl 3 Februari 1994). Apa yang beliau terima dan keluarkan dicatat setiap hari di dalam buku ini, misalnya: obat nyamuk Rp.150.-, pangkas rambut Rp.500,-, terima sumbangan Rp.500.000,- dst.. Dari dua buku tersebut dengan cepat saya yang ditugasi mengurus peninggalan harta kekayaan beliau, antara lain uang, dapat mengurusnya. Ada uang paroki, uang untuk seminari, uang untuk kematian, uang untuk pribadi dst… Beliau sungguh dapat dikatakan sebagai administrator/pengurus uang atau harta benda yang baik serta menyelamatkan.

Semangat/spiritualitas mengurus uang

1. “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perakara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar. Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya? Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?” (Luk 16:10-12)

Kecuali di dalam bentuk cek atau surat berharga, tidak ada lembaran mata uang bernilai satu milyard, satu juta; kebetulan mata uang tertinggi di negara kita bernilai Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) sampai yang terendah bernilai Rp.1,-. Mata uang terkecil ini di perkotaan mungkin sulit ditemukan lagi, tetapi di dalam hitungan (perhatikan rekening Bank), hitungan bahkan sampai pada pecahan rupiah, misalnya 50 sen atau 25 sen. Jika kita bekerja atau bergerak di dalam uang, bukankah hitungan sampai yang kecil-kecil, sebagaimana dikerjakan oleh Bank, itulah yang benar. Bank dapaat menjadi dan dapat dipercaya mengelola jumlah uang yang besar, karena ia setia pada nilai-nilai mata uang sampai yang terkecil.

2. “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak merupakan satu tubuh….jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormatii, semua anggota turut bersukacita” (lihat 1Kor 12:12-26)

Paulus menggambarkan kebersamaan kita bagaikan tubuh kita, ada macam-macam atau banyak anggota. Dari anggota tubuh kita yang kelihatan, anggota mana yang memadai untuk kita kenakan pada kita para pengurus atau pengelola uang? Jawabannya ialah ‘leher’. Mengapa? Leher merupakan bagian tubuh yang berfungsi sebagai jalan, jalan makanan, minuman, udara yang harus dikonsumsi oleh tubuh. Leher tidak pernah ‘korupsi’, tidak mengambil sedikitpun apa yang lewat. Leher tidak pernah mampu menyakiti yang lain, berbeda dengan kaki, tangan atau kepala dst.. dapat menyakiti yang lain. Jika leher tidak mau dilewati (ngambeg, ndableg??), maka sakitlah seluruh tubuh. Leher senantiasa berfungsi sebagai “jalan/penyalur” selama tubuh masih hidup , sementara itu bagian tubuh yang lain dapat beristirahat. Leher dapat menjadi sombong (jika ia tidak mau berfungsi, sakit seluruh tubuh) atau rendah hati (tidak dapat menikmati yang lewat, tetapi mau dilewati).

Leher adalah penyalur yang baik demi kepentingan seluruh tubuh. Peran pengurus atau pengelola uang adalah demi kepentingan seluruh tubuh. Ia harus disiplin, jujur dan berfungsi terus menerus Air satu gelas masuk melalui mulut langsung diteruskan ke perut, tidak ditahan atau dikurangi sedikitpun, demikian seterusnya. Yang ia terima langsung diteruskan kepada yang berhak. Bukankah hal ini sesuai dengan ajaran Gereja yang mengatakan “maksud pemberi” (intentio dantis) harus diperhatikan?

Leher bagaikan Salib di puncak Kalvari, yang menghubungkan bumi dan langit, dunia dan sorga, yang menjadi penyalur rahmat Allah kepada dunia dan penyalur doa/ keluh kesah dunia kepada Allah. Salib juga merupakan bentuk puncak pelaksanaan ketaatan Yesus kepada Bapa yang mengutusNya. Dengan semangat Salib ini pula para pengelola atau pengurus uang mengelola atau mengurus uangnya. Semua terlihat jelas, terbuka lebar..alias transparan. Kiranya kita tahu apa itu semangat Salib: berani mati/ menderita atas nama dosa/kekurangan yang lain, demi keselamatan atau kesejahteraan yang lain. Begitulah kiranya nasib para pengelola atau pengurus uang yang tak terlepas dari penderitaan karena setia atau taat kepada aturan. “Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita. Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia” (Yoh 16:20-21)

3. “Kemiskinan, sebagai benteng kuat hidup religius, harus dicintai dan dipelihara dalam kemurniannya sejauh itu mungkin, dengan dorongan rahmat Allah” (Ignatius Loyola, Konst no 553.1)

Di dalam hidup membiara dikenal ada tiga kaul: keperawanan, ketaatan dan kemiskinan. Kiranya cukup sulit bagi kita yang tidak menghayati kaul tersebut untuk menilai apakah mereka yang berkaul setia pada kaul-kaulnya: masih perawan? masih taat? masih miskin? Tetapi pengamatan atau pengalaman kami apa yang ditulis oleh Santo Ignatius tersebut di atas cukup membantu untuk menilai atau mawas diri. Dari ketiga kaul , kaul kemiskinan yang dengan mudah dapat dilihat, dinilai atau direfleksi. Di satu pihak orang melanggar kaul keperawanan atau ketaatan akan lebih sulit untuk “dilihat” daripada melanggar kaul kemiskinan, di lain pihak jika dilihat ada pelanggaran kaul kemiskinan pasti sudah terjadi pelanggaran kaul keperawanan atau ketaatan.

Kemiskinan adalah benteng hidup religius, kata Ignatius. Jika benteng sudah tidak kuat maka yang dibentengi, yaitu hidup religius dalam keadaan terancam. Di sini penulis teringat nasehat orangtua: “barang kathon bae ora bisa nggarap, ojo maneh sing ora kathon” (=yang kelihatan saja tidak dapat mengerjakan, apalagi yang tidak kelihatan). Pengurusan atau pengelolaan uang merupakan pekerjaan tentang yang kelihatan. Sebagaimana ketiga kaul tersebut di atas kait mengkait atau saling berhubungan, demikian pula ‘yang kelihatan’ dan ‘yang tak kelihatan’. ‘Yang kelihatan merupakan perwujudan dari yang tak kelihatan’; maka jika terjadi pelanggaran kaul kemiskinan atau ketidak-beresan pengurusan atau pengelolaan uang, pada umumnya yang bersangkutan (pengelola atau pengurus) bermasalah atau kurang beriman, kurang setia pada hidup, panggilan dan tugasnya. Memang semakin mendunia semakin penuh tantangan dan untuk itu semakin dibutuhkan kedalaman iman pengelola/pengurus yang bersangkutan.

Semakin mendunia harus semakin beriman

“Weruh duwit, melek matane” (= melihat uang terbuka matanya), demikian kata orang. Memang uang dapat membangunkan atau membuka mata orang. Tetapi jangan lupa bahwa uang adalah harta dunia yang penuh perkara. Maka menghadapi ‘dunia yang penuh perkara’ ini kita dapat meneladan Salomon di dalam menghadapinya. Ketika Salomon diangkat menjadi raja, ia berdoa:”berikanlah kepada hambaMu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umatMu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat”. Mendengar doa ini Tuhan menjawab:”Oleh karena engkau telah meminta hal yang demikian dan tidak meminta umur panjang atau kekayaan atau nyawa musuhmu, melainkan pengertian untuk memutuskan hukum, maka sesungguhnya Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu, sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian” (lihat 1Raja-Raja 3:7-12).

Umur panjang, kekayaan dan nyawa musuh adalah perkara yang harus dihadapi dengan bijaksana, dengan hati yang penuh hikmat dan pengertian. Yang ingin saya refleksikan lebih lanjut adalah kekayaan. Ketika Yesus mau bekerja atau mendunia, setelah selesai berpuasa empat puluh hari lamanya, Ia digoda dalam tiga hal: harta, pangkat/kedudukan dan hormat. Tiga hal ini sangat erat hubungannya dengan uang, apalagi dipandang dari mata dunia, ketiganya dapat dibeli dengan uang. Maka sering muncul istilah gila harta, gila pangkat dan gila hormat..hilang harta, pangkat dan hormat-nya tinggal gila-nya. Pengalaman menunjukkan banyak orang menjadi ‘gila’/sakit jiwa betul karena harta, pangkat atau hormat atau kurang beriman.

Beriman di dalam mengurus atau mengelola uang berarti tetap setia menempatkan uang sebagai ‘jalan atau sarana’ serta menjauhkan diri untuk menjadi ‘gila uang’. Mengakhiri refleksi ini baiklah kita renungkan pesan ini: “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa seuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim 6:6-10).

Uang memang termasuk ‘harta dunia’ yang penuh perkara, kita tidak dapat lepas dari uang selama di dunia. Tetapi ingat juga Yesus adalah Penyelamat Dunia. Bersama dan dengan Dia kita dapat memasuki ‘harta dunia’ itu dengan selamat, dan panggilan kita adalah menyelamatkan dunia, bukan menghancurkan dunia. Di mana ada ‘dunia’ belum atau tidak selamat, di situlah kita dipanggil untuk mendatangi dan menyelamatkan.

oleh Ign.Sumarya SJ


0 komentar:

Post a Comment