Dalam kehidupan iman, sering kali kita dibingungkan oleh adanya fenomena yang kadang kala aneh tetapi nyata. Misalnya, kita melihat adanya orang Kristiani yang begitu rajin ke Gereja, rajin mengikuti pendalaman rohani atau persekutuan doa, rajin berdoa dan membaca, bahkan Gereja dan paroki menjadi rumahnya yang kedua. Namun dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan sehari-hari kurang mempunyai 'hati' terhadap sesamanya. Bahkan mereka sering dicap sebagai orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada sesamanya.
Sebaliknya,
kita jumpai pula orang-orang Kristiani yang dalam hal menjalankan iman jarang
pergi ke gereja, tidak pernah ikut kegiatan lingkungan, tidak pernah membaca
alkitab dan bahkan tidak pernah berdoa sama sekali. Namun orang ini begitu baik
terhadap sesamanya. Suka membantu sesama yang menderita, menolong mereka yang
kesusahan dan juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan.
Pertanyaan
kita bisa muncul, mana yang benar, mana yang tepat. Mana yang mesti kita pilih,
yang pertama atau yang kedua? Saya tidak akan menjawab mana yang tepat atau
mana yang benar, melainkan mau mengajak rekan-rekan untuk melihat diri kita
masing-masing. Yang ingin saya angkat melihat fenomena ini adalah sejauh mana
kehidupan sehari-hari saya mencerminkan pula kehidupan iman saya. Atau sejauh
mana saya dewasa dalam rohani. Apakah kedewasaan rohani itu bisa diukur?. Bila
bisa apa yang bisa kita gunakan untuk mengukur kedewasaan rohani. Bukankah
masalah iman merupakan masalah yang sangat pribadi.
Masalah
relasi antara saya dengan Allah. Lalu siapa yang bisa mengukur apakah saya
sungguh beriman atau dewasa dalam menghayati iman atau belum? Yang bisa
mengukur kedewasaan adalah saya pribadi. Hal ini memang benar, karena itu bukan
hanya soal olah rohani belaka, tetapi juga soal perwujudan, maka kedewasaan
rohani bisa diukur dari sisi motivasi, tetapi juga perwujudannya. Kita meyakini
bahwa 'iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati'.
Menurut para
ahli spiritualist, kita bisa mengukur kedewasaan rohani kita dari beberapa
indikasi ini.
v Adanya
keinginan kuat atau kerinduan hati yang teguh untuk menjadi 'suci' dari pada
sekedar mengalami kebahagiaan sementara dalam hidup.
v Mempunyai
keutamaan untuk selalu berkeinginan memberi dan memberi dari pada menerima dan
diberi atau bahkan menuntut.
v Selalu
merasa mendapat kehormatan bila diberi kesempatan untuk melayani dari pada
dilayani.
v Selalu
mengalami kebahagian dalam kehidupan pribadi, baik lahir mau pun batin.
v Selalu
merasa terberkati, selalu merasa bersyukur atas karunia yang telah diterima,
dari pada selalu merasa kurang dan ingin memiliki lebih dari apa yang
diperlukan.
v Mampu
menerima segala sesuatu dengan sikap 'apa adanya' 'nrima ing pandum' dari pada
mengikuti ambisi untuk memiliki segalanya dan menuntut orang lain untuk menjadi
sama seperti dirinya.
v Selalu hidup
dalam dunia kasih, segala sesuatunya diukur berdasarkan kasih.
Inilah
indikasi yang bisa digunakan untuk mengukur apakah saya sudah merasa mencapai
'kedewasaan rohani', sesuai dengan iman kristiani yang saya yakini. Kasus
diatas tidak akan pernah terjadi bila kita merasa yakin bahwa saya selalu
berusaha berada dalam jalur tujuh indikasi ini.
Apakah
menjadi suci sungguh merupakan kerinduan setiap manusia. Apakah Allah menghendaki
kita menjadi suci atau....? Jawabannya ada dalam hati kita masing-masing,
tetapi bila kita kembali kepada undangan Jesus sendiri yakni "Jadilah
engkau sempurna seperti Bapa sempurna adanya", maka kita akan mengangguk
bahwa kesempurnaan hidup, atau kesucian adalah merupakan tujuan akhir setiap
orang yang mengakui diri sebagai murid Kristus. Karena pada hakekatnya Tuhan
memanggil kita untuk menjadi suci. Ukuran kesempurnaan rohani kita adalah
'untuk menjadi seperti Kristus' dalam segala aspek kehidupanNya. Semoga
renungan kecil ini berguna.
Selamat
berhari Minggu.
In Christ.
0 komentar:
Post a Comment