Kemurnian di luar perkawinan
I. Apa
pentingnya kemurnian (chastity)?
Mungkin ada
banyak dari kita merasa bahwa ‘kemurnian’ itu suatu hal yang aneh untuk
dibicarakan, sepertinya ‘muluk- muluk’ dan terlalu idealis. Apa sih perlunya?
Mengapa Gereja repot- repot mengajarkannya? Mungkin jawabannya singkat saja:
karena kemurnian berhubungan erat dengan kebahagiaan kita. Tuhan menciptakan
kita sesuai dengan gambaran-Nya untuk maksud yang mulia: yaitu agar kita
berbahagia bersama-Nya, tanpa cacat dan cela (lih. Ef 1:3-6). Caranya adalah
dengan mengasihi, dan memberikan diri. “Manusia dapat sepenuhnya menemukan
jati dirinya, hanya di dalam pemberian dirinya yang tulus.”[1]. Seseorang yang selalu berpusat
pada diri sendiri dan tak pernah memberikan dirinya kepada orang lain, tidak
akan hidup bahagia. Sedangkan seseorang yang mau memberikan dirinya bagi orang
lain akan menemukan arti hidupnya. Nah, pemberian diri yang tulus
yang dikehendaki Tuhan ini, adalah pemberian kasih yang murni. Itulah sebabnya
kita perlu mengetahui dan melaksanakan kebajikan kemurnian, karena hanya dengan
menerapkannya, maka kita dapat sungguh berbahagia dan kelak dapat memandang
Allah di surga. “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan
melihat Allah” (Mat 5:8).
II. Apa itu
kemurnian?
Kalau kita
mendengar kata emas murni atau air murni, yang terbayang di pikiran kita adalah
suatu zat dalam kondisi awal yang semestinya, yang tidak terkontaminasi oleh
zat-zat lain yang buruk. Demikian juga, Tuhan menghendaki kemurnian kita,
artinya Tuhan menginginkan agar kita menjadi sempurna, tubuh dan jiwa, seperti
pada awalnya saat Ia menciptakan manusia yang sungguh sangat baik adanya (lih.
Kej 1:31). Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah saat kita memandang tubuh kita
sendiri di depan kaca cermin, kita dapat berkata, “Terima kasih Tuhan, Engkau
telah menciptakan tubuhku dengan sangat baik?” Atau selanjutnya, sudah cukupkah
kita memperhatikan dan menjaga kecantikan rohani kita di samping menjaga
kecantikan jasmani?
Manusia
diciptakan sebagai mahluk rohani yang mempunyai tubuh; yang berakal budi dan
berkehendak bebas. Inilah yang menjadikan manusia dapat mengenal dan mengasihi
Allah, dan menemukan arti hidupnya dengan melakukan kasih. Pertanyaannya
adalah, kasih seperti apa? Jawaban yang sederhana, namun tak terkira dalam
maknanya adalah: kasih yang seperti kasih Yesus; yaitu kasih yang melibatkan
tubuh dan jiwa, seperti yang dinyatakan-Nya di kayu salib. Inilah kemurnian
kasih yang Tuhan ajarkan kepada kita.
Maka tak
mengherankan jika Gereja Katolik mendefinisikan kemurnian, demikian:
1. Kemurnian
= keutuhan seksualitas secara jasmani dan rohani
KGK 2337
Kemurnian berarti keutuhan seksualitas yang membahagiakan di dalam
pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam
keberadaannya secara jasmani dan rohani. Seksualitas, yang di dalamnya
nyata, bahwa manusia termasuk dalam dunia badani dan biologis, menjadi pribadi
dan benar-benar manusiawi ketika pribadi ini digabungkan ke dalam hubungan
antara satu orang dengan yang lainnya, di dalam penyerahan timbal balik secara
sempurna dan tidak terbatas oleh waktu, antara seorang laki- laki dan seorang perempuan.
Dengan demikian kebajikan kemurnian melibatkan keutuhan pribadi dan
kesempurnaan penyerahan diri.
Jika kita
menghayati makna keutuhan tubuh dan jiwa ini, maka kita dapat melihat bahwa
tubuh kita diciptakan Tuhan untuk maksud yang ilahi, dan dengan tubuh ini kita
dapat memuliakan Tuhan. Dengan penghayatan ini, kita tidak mudah dibingungkan
oleh kedua pandangan ekstrim yang ada di dunia ini: 1) mengagungkan hal- hal
rohani sampai menolak segala sesuatu yang bersifat jasmani/ seksual dan
menganggapnya dosa; 2) mengagungkan hal- hal jasmani dan seksual sampai ke
tingkat yang tidak semestinya, dan menolak segala yang bersifat rohani. Kedua
pandangan ekstrim ini keliru karena memisahkan tubuh dan jiwa.
2. Kemurnian
= pengendalian diri yang mengacu kepada kelemahlembutan dan kesetiaan Allah
Kemurnian
menjadi penting, karena kasih yang sempurna mensyaratkan kemurnian dalam cara
menyampaikannya. Nah, seorang yang murni adalah seorang yang dapat
mengendalikan dirinya, pada saat menyerahkan dirinya pada orang lain; sehingga
dapat menjadi saksi bagi orang lain tentang kesetiaan dan kelemahlembutan kasih
Allah.
KGK 2346
Kasih adalah bentuk semua kebajikan. Di bawah pengaruhnya,
kemurnian tampak sebagai latihan penyerahan diri. Pengendalian diri diarahkan
kepada penyerahan diri. Kemurnian menjadikan orang yang hidup sesuai dengannya,
seorang saksi bagi sesamanya tentang kesetiaan dan kasih Allah yang
lemah lembut.
3. Kemurnian
= peneguhan dan pemberian diri yang tidak diwarnai cinta diri/ mementingkan
diri sendiri.
“Kemurnian
adalah peneguhan penuh sukacita dari seseorang yang mengetahui bagaimana ia
hidup dengan memberikan dirinya, yang tidak dibatasi oleh segala bentuk
perbudakan cinta diri.”[2]
Hal
pemberian diri yang murni ini memang tidak mudah dilakukan, terutama karena
manusia cenderung memiliki rasa cinta diri. Kasih kita kepada sesama secara
umum dapat diuji dengan pertanyaan ini: Apakah dalam berelasi dengan sesama,
fokus saya adalah menyenangkan diri sendiri atau menyenangkan orang lain?
Apakah dalam berelasi dengan orang lain saya membantunya untuk hidup kudus/
murni atau malah menjerumuskannya? Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Para
pria dan wanita yang ber-relasi satu sama lain dengan kemurnian sungguh
memuliakan Allah dengan tubuh mereka.”[3]
II. Dasar
kemurnian
Paus Yohanes
Paulus II mengajarkan agar kita dapat memahami makna kemurnian, kita harus
melihat keadaan pada saat awal mula manusia diciptakan oleh Tuhan. Dalam khotbahnya, Theology
of the Body, Paus mengajarkan adanya tiga pengalaman dasar yang dapat
membantu kita membayangkan keadaan tersebut:
1.
Kesendirian Asali (Original Solitude)
Pada saat
awal mula penciptaan, Adam mengalami kesendirian di tengah dunia ciptaan Tuhan;
sebab ia menyadari bahwa ia tidak sama dengan ciptaan lainnya (lih. Kej 2:20).
Kesadaran ini timbul dari pengalaman tentang tubuhnya. Kesendirian ini
memanggilnya untuk bersekutu dengan Tuhan Sang Pencipta dan dengan mahluk lain
yang ‘sejenis’ dengannya (lih. Kej 2:23).
2. Kesatuan
Asali (Original Unity)
Ayat Kej
2:24 “…. dan keduanya menjadi satu tubuh”… merupakan dasar akan adanya kesatuan
asali. Kesatuan ini mengatasi kesendirian manusia; dan kesatuan antar seorang
laki- laki dan perempuan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah ini,
sungguh berbeda dengan persetubuhan binatang. Kesadaran akan kesatuan asali ini
memberikan dasar bagi kemampuan seseorang untuk memberikan dirinya kepada orang
lain dan menghargai orang lain, sebagai “saudara laki- laki dan saudara
perempuan di dalam kesatuan umat manusia” (lih. Pope John Paul II, Theology
of the Body 18:5))
3.
Ketelanjangan Asali (Original Nakedness)
Ketelanjangan
asali merupakan pengalaman telanjang namun tanpa rasa malu (Kej 2:25), namun
bukan maksudnya bahwa kemudian orang boleh telanjang dan tidak perlu malu.
Maksudnya di sini adalah, kita harus mempunyai kesadaran penuh akan makna tubuh
kita seperti pada saat awal diciptakan Tuhan, sebagai pernyataan keseluruhan
pribadi kita sebagai manusia. Sebab, “Sesungguhnya tubuh, hanya
tubuh saja, yang mampu memperlihatkan misteri Allah yang tidak kelihatan…”
(TOB 96:6, 19:4). Itulah sebabnya Kristus Sang Firman menjadi daging (Yoh 1:14)
mengambil tubuh manusia (Ibr 10:5), dan akhirnya mengorbankan Tubuh-Nya itu
sebagai tebusan bagi dosa manusia, agar kita semua dapat memahami besarnya
kasih Tuhan kepada kita manusia (lih. Yoh 3:16). Itulah sebabnya, Tuhan
Yesus memerintahkan kepada para rasul untuk mengenangkan-Nya dengan melakukan
perjamuan kudus, di mana Ia akan hadir dalam rupa roti dan anggur. “Inilah
Tubuh-Ku….. inilah Darah-Ku” (lih. Mat 26:20-29; Mrk 14:17-25; Luk 22:14-23).
Maka jika
kita memahami makna ketelanjangan asali ini, maka kita akan melihat bagaimana
rahmat Allah yang tidak kelihatan itu disampaikan kepada manusia, baik
laki-laki maupun perempuan. Kekudusan yang melibatkan cara memandang seseorang
sebagai ciptaan Tuhan yang baik adanya, inilah yang memampukan manusia
menyatakan diri mereka melalui pemberian diri yang tulus (the sincere gift
of self). Dengan perkataan lain, dengan menyadari kasih yang Tuhan
sampaikan kepada kita melalui tubuh kita ini, maka kita dapat mempergunakan
tubuh ini untuk mengasihi dan melayani sesama.
Dalam
konteks perkawinan, maka penghayatan pengalaman kesatuan asali dan
ketelanjangan asali ini diwujudkan dalam hubungan seksual suami istri yang
maknanya adalah:
“Aku
memberikan diriku sepenuhnya kepadamu, segalanya, tanpa ada yang kusimpan
sendiri. Setulusnya. Tanpa paksaan. Selamanya. Dan aku menerima pemberian
dirimu yang engkau berikan kepadaku. Aku memberkati engkau. Aku mendukung/
meneguhkan engkau. Segala yang ada padamu, tanpa syarat. Selamanya.”[4].
Bukankah
pernyataan serupa ini dinyatakan oleh Kristus kepada Mempelai-Nya yaitu Gereja,
di kayu salib? Kristus memberikan Diri-Nya sehabis- habisnya kepada Gereja, dan
pemberian diri serupa ini yang menjadi teladan bagi suami untuk memberikan
dirinya kepada istrinya.
Sedangkan
hubungan seksual di luar perkawinan yang hanya berfokus untuk memuaskan
keinginan tubuh, cenderung tidak total, tidak didasari oleh komitmen kesetiaan
selamanya, dan tidak didasari oleh persekutuan rohani di dalam Kristus. Dan
karena hubungan ini tidak dilakukan sesuai dengan kehendak Allah, maka hal ini
adalah dosa, dan tak heran jika kemudian mengakibatkan hal- hal buruk yang dapat
merusak hubungan pasangan itu sendiri.
III. Tujuan
kemurnian
Telah
disampaikan bahwa kemurnian membawa manusia kepada keselamatan kekal. Mengapa?
Karena kemurnian menunjukkan arti penciptaan manusia sebagai pria dan wanita:
yaitu bahwa kita dipanggil untuk mengambil bagian dalam kasih persekutuan Allah
dalam Trinitas di dalam Kristus. Hubungan kasih suami istri yang dapat
melahirkan kehidupan baru, merupakan gambaran samar- samar akan kesatuan kasih
Allah Trinitas, yaitu kasih persekutuan Allah Bapa dan Allah Putera yang
menghembuskan Roh Kudus. Tentu saja persekutuan ketiga Pribadi Allah ini
bukan karena ada perkawinan di dalam Pribadi Allah, namun demikian
kesatuan mereka merupakan sesuatu yang seharusnya digambarkan dalam setiap
perkawinan Kristiani. Ini adalah salah satu makna, bahwa manusia diciptakan
menurut gambar Allah (Kej 1:27).
Inilah
sebabnya mengapa hubungan jasmani suami istri memiliki makna yang luhur. Karena
kasih suami istri tidak saja melibatkan tubuh, tetapi juga jiwa. Dalam hal ini,
persekutuan tubuh tidak terlepas dari persatuan jiwa. Persatuan ini terjadi
ketika pasangan tersebut telah dipersatukan oleh Kristus, karena hanya di dalam
Kristuslah manusia menemukan makna luhur perkawinan. Demikian juga, dengan
penghayatan akan makna perkawinan, kita dapat semakin menghargai kehidupan para
religius yang memilih untuk mempersembahkan keseluruhan kasih mereka yang total
kepada Allah, sehingga kehidupan mereka di dunia ini menjadi tanda yang lebih
jelas tentang persekutuan kekal antara Allah dan manusia dalam “perjamuan Anak
Domba” yang tidak melibatkan perkawinan secara jasmani.
IV. Bentuk-
bentuk kemurnian
Sebagai umat
beriman, kita semua dipanggil untuk hidup murni, entah seseorang hidup
sebagai seorang religius, atau mereka yang menikah maupun yang tidak menikah.
Kita semua dipanggil untuk hidup kudus (lih. Konsili Vatikan II, Lumen
Gentium Bab V), sebab tubuh kita ini adalah bait Allah Roh Kudus (lih.
1 Kor 6:19). Maka mereka yang sudah menikah dipanggil untuk hidup dalam
kemurnian pernikahan, sedangkan yang tidak menikah, kemurnian dengan tidak
melakukan aktivitas seksual. Maka ada tiga bentuk kemurnian, yaitu yang
menyangkut kemurnian pasangan suami istri, kemurnian para janda/ duda, dan
kemurnian para perawan/ selibat.[5]. Mereka
yang selibat untuk Kerajaan Allah merupakan tanda yang jelas di dunia ini
tentang makna persekutuan dengan Allah pada akhir jaman nanti, sebab mereka
tidak kawin dan dikawinkan namun menjaga kemurnian kasih dalam kesatuan dengan
Allah.
Lalu,
bagaimana untuk orang-orang yang sedang bertunangan? Katekismus mengajarkan:
KGK 2350, Mereka yang
terikat/bertunangan dan akan menikah dihimbau agar hidup murni dalam
suasana berpantang. Mereka harus melihat waktu percobaan ini sebagai waktu,
di mana mereka belajar, saling menghormati dan saling menyatakan kesetiaan
dengan harapan, bahwa mereka dianugerahkan oleh Allah satu untuk yang lain.
Mereka harus menghindari pernyataan cinta kasih yang merupakan cinta kasih
suami isteri, sampai pada waktu mereka menikah. Mereka harus saling membantu
agar dapat tumbuh dalam kemurnian.
Dengan
demikian waktu berpacaran/ bertunangan merupakan waktu yang harus digunakan
untuk mengenal pribadi pasangan, terutama secara rohani. Ini penting, karena
hal persekutuan rohani sesungguhnya yang mendasari persekutuan jasmani, dan
tidak terpisahkan darinya. Jika pasangan mendahulukan keintiman jasmani,
misalnya dengan hubungan seksual sebelum menikah, maka sebenarnya keduanya
mengambil sesuatu sebelum waktunya, kesatuan yang ingin dilambangkan sebenarnya
belum ada, dan kemurnian jiwa dan tubuh mereka menjadi korbannya.
Namun
percabulan tidak hanya disebabkan oleh hubungan seksual sebelum perkawinan.
Yesus mengajar, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya,
sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya…. ” (Mat 5:28). Hal perzinahan di
pikiran sudah termasuk dalam dosa melawan kemurnian. Nampaknya, kemurnian
menjadi sesuatu yang sulit dijalankan, terlebih dengan adanya banyak propaganda
yang seolah mengumbar hal- hal seksual. Mengapa ada kecenderungan manusia jatuh
ke dalam dosa seksual ini?
V. Dosa
menjadikan manusia berjuang dalam kekudusan dan kemurnian
1. Dosa
mengubah persepsi manusia akan kondisi asali
St. Thomas
Aquinas mengajarkan bahwa manusia pertama (Adam dan Hawa) diciptakan dengan
rahmat pengudusan Allah (sanctifying grace) dan karuniapreternatural
gifts yaitu 1) keabadian atau tidak dapat mati, 2) tidak dapat
menderita, 3) mempunyai pengetahuan akan Tuhan atau ‘infused knowledge’
dan 4) berkat keutuhan atau ‘integrity’ maksudnya, adalah harmoni atau
tunduknya nafsu kedagingan pada akal budi. Namun sejak manusia pertama jatuh dalam
dosa, mereka kehilangan karunia-karunia tersebut. Adam dan Hawa menurunkan dosa
asal dan akibatnya kepada keturunan mereka, termasuk kita, sehingga kita
sebagai manusia memang selalu mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa.
Salah satu
dokumen Vatikan II, Gaudium Et Spes menuliskan tentang dosa
asal dan bagaimana manusia senantiasa berjuang dalam kekudusan di tengah-tengah
kecenderungan untuk berbuat dosa.
Akan tetapi
manusia, yang diciptakan oleh Allah dalam kebenaran, sejak awal mula sejarah,
atas bujukan si Jahat, telah menyalahgunakan kebebasannya. Ia
memberontak melawan Allah, dan ingin mencapai tujuannya di luar Allah.
Meskipun orang-orang mengenal Allah, mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah;
melainkan hati mereka yang bodoh diliputi kegelapan, dan mereka memilih
mengabdi makhluk dari pada Sang Pencipta[10]. Apa yang kita ketahui berkat Perwahyuan itu memang cocok dengan
pengalaman sendiri. Sebab bila memeriksa batinnya sendiri manusia memang
menemukan juga, bahwa ia cenderung untuk berbuat jahat, dan tenggelam dalam
banyak hal-hal buruk, yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik.
Sering ia menolak mengakui Allah sebagai dasar hidupnya. Dengan demikian ia
merusak keterarahannya yang sejati kepada tujuan yang terakhir, begitu pula
seluruh hubungannya yang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, dengan sesama
manusia, dan dengan segenap ciptaan.
Oleh karena
itu dalam batinnya manusia mengalami perpecahan. Itulah sebabnya, mengapa
seluruh hidup manusia, ditinjau secara perorangan maupun secara kolektif,
nampak sebagai perjuangan, itu pun perjuangan yang dramatis, antara kebaikan
dan kejahatan, antara terang dan kegelapan. Bahkan manusia mendapatkan dirinya
tidak mampu untuk atas kuasanya sendiri memerangi serangan-serangan kejahatan
secara efektif, sehingga setiap orang merasa diri ibarat terbelenggu dengan
rantai. Akan tetapi datanglah Tuhan sendiri untuk membebaskan dan meneguhkan
manusia, dengan membaharuinya dari dalam, dan dengan melemparkan keluar
penguasa dunia ini (lih. Yoh 12:31), yang menahan manusia dalam perbudakan dosa[11]. Adapun dosa yang merongrong manusia sendiri dengan menghalang-halanginya
untuk mencapai kepenuhannya.
Dalam terang
Perwahyuan itulah baik panggilan luhur maupun kemalangan mendalam, yang dialami
oleh manusia, menemukan penjelasannya yang terdalam.”[6]
Rahmat
pengudusan dipulihkan oleh rahmat yang mengalir dari misteri Paskah Kristus,
sehingga manusia dapat tetap mengambil bagian di dalam kehidupan Tuhan.
Sebaliknya, berkat keutuhan (gift of integrity) tidak terpulihkan, namun
dipakai oleh Tuhan sebagai cara sehingga manusia dapat membuktikan kasihnya
kepada Tuhan. Oleh karena itu, walaupun telah dibaptis – yang berarti telah menerima
rahmat pengudusan, tiga kebajikan ilahi (iman, pengharapan dan kasih), karunia
Roh Kudus, dan karunia menjadi anak-anak Allah – manusia senantiasa mempunyai
kecenderungan berbuat dosa (concupiscence). Katekismus Gereja Katolik
mendefinisikan concupiscence / tinder of sin /
kecenderungan berbuat dosa sebagai berikut:
KGK, 1264. Tetapi di dalam orang-orang
yang dibaptis tetap ada beberapa akibat sementara dari dosa:
penderitaan, penyakit, kematian, kelemahan yang berhubungan dengan kehidupan
(seperti misalnya kelemahan tabiat), serta kecondongan kepada dosa, yang
tradisi namakan concupiscentia [keinginan tak teratur] atau, secara kiasan,
“dapur dosa” [fomes peccati]. Karena keinginan tak teratur “tertinggal
untuk perjuangan, maka ia tidak akan merugikan mereka, yang tidak menyerah
kepadanya dan yang dengan bantuan rahmat Yesus Kristus menantangnya dengan
perkasa. Malahan lebih dari itu, siapa yang berjuang dengan benar, akan
menerima mahkota (2 Tim 2:5)” (Konsili Trente: DS 1515).
Dari
pemaparan di atas, maka kita dapat melihat bahwa sampai akhir hayatnya, manusia
akan senantiasa berjuang dalam kekudusan, termasuk dalam menjaga kemurnian.
2. Kebajikan
penguasaan diri dan hubungannya dengan kemurnian
Sehubungan
dengan kemurnian (chastity), kita akan membahas secara khusus tentang
kebajikan penguasaan diri. Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan sebagai
berikut:
KGK 1809
Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang
mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita
mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin
penguasaan kehendak atas kecenderungan dan tidak membiarkan kecenderungan
melampaui batas-batas yang patut dihormati. Manusia yang menguasai diri
mengarahkan kehendak inderawi-nya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan
sehat untuk menilai, dan berpegang pada kata-kata: “Jangan mengikuti setiap
kecenderungan walaupun engkau mampu, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsumu”
(Sir 5:2, Bdk. Sir 37:27-31) Kebajikan penguasaan diri sering dipuji dalam
Perjanjian Lama: “Jangan dikuasai oleh keinginan-keinginanmu, tetapi kuasailah
segala nafsumu” (Sir 18:30). Dalam Perjanjian Baru ia dinamakan “kebijaksanaan”
atau “ketenangan”. Kita harus hidup “bijaksana, adil, dan beribadah di dalam
dunia sekarang ini” (Tit 2:12).
“Hidup yang baik itu tidak lain dari mencintai Allah dengan segenap hati,
dengan segenap jiwa, dan dengan segenap pikiran. (Oleh penguasaan diri) orang
mencintai-Nya dengan cinta sempurna, yang tidak dapat digoyahkan oleh
kemalangan apa pun (karena keberanian yang hanya mematuhi Dia (karena keadilan)
dan yang siaga supaya menilai semua hal, supaya jangan dikalahkan oleh
kelicikan atau penipuan (inilah kebijaksanaan)” (Agustinus, mor. Eccl.
1,25,46).
Penguasaan
diri dapat diterapkan dalam makanan, minuman dan juga dalam seksualitas.
Penguasaan diri bukan berarti meniadakan sama sekali keinginan yang menjadi
bagian darinya, namun memakainya dengan ukuran yang tepat dan sesuai dengan
akal budi yang benar.[7] Contohnya, bagi pasangan yang
belum menikah, adalah wajar untuk ingin saling berdekatan, namun jangan sampai
melakukan melakukan hubungan intim yang hanya diperbolehkan untuk suami dan
istri. Sedangkan suami istri walaupun diperbolehkan untuk melakukan hubungam
intim, namun jangan sampai hubungan tersebut hanya didasari oleh nafsu belaka,
sehingga menjadikan pasangan hanya sebagai obyek pelampiasan semata.
3. Berlatih
kemurnian adalah seperti berlatih mendidik anak-anak
Pertanyaannya
adalah, bagaimana kita dapat mengendalikan kecenderungan-kecenderungan ini,
sehingga kita dapat hidup murni? Kata kemurnian (chastity) menurut St.
Thomas adalah memurnikan kecenderungan berbuat dosa (concupiscence)
dengan akal budi. Aristoteles membandingkan hal ini seperti proses pendidikan
anak-anak.[8] Seperti
anak-anak yang dibiarkan untuk berbuat apa saja, maka akan semakin sulit untuk
dikontrol. Namun, semakin anak-anak dilatih dan dididik, maka dia akan semakin
menurut, sampai akhirnya pendidikan tersebut menjadi bagian dari dirinya,
sehingga pendidikan tersebut bukan menjadi sesuatu yang mengekang namun menjadi
sesuatu yang membebaskan.
VI.
Pelanggaran terhadap kemurnian
Setelah kita
mengetahui kemurnian dan hubungannya dengan kebajikan, serta menyadari perlunya
untuk mengarahkan dorongan kodrati (sensitive appetite), maka kita akan
melihat beberapa hal yang dipandang sebagai pelanggaran terhadap kemurnian:
1. Nafsu/
ketidakmurnian
KGK 2351
Nafsu adalah hasrat yang menyimpang akan, ataupun kenikmatan
yang tidak teratur akan kesenangan seksual. Keinginan seksual itu tidak teratur
secara moral, apabila ia dikejar karena dirinya sendiri dan dengan demikian
dilepaskan dari tujuan batinnya untuk melanjutkan kehidupan (procreative)
dan untuk hubungan cinta kasih (unitive).
2.
Masturbasi
KGK
2352 Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang
disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual. “Baik Wewenang
Mengajar Gereja dalam tradisinya yang tidak berubah maupun perasaan susila umat
beriman telah tidak pernah meragukan, untuk mencap masturbasi sebagai satu
tindakan yang sangat menyimpang”. “Penggunaan kemampuan seksual dengan sengaja,
dengan alasan apa pun, yang dilakukan di luar hubungan suami isteri yang
normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”. Sebab di sini, kenikmatan
seksual dicari di luar “hubungan seksual yang diatur oleh hukum moral/
kesusilaan dan yang di dalamnya dicapai arti sepenuhnya dari penyerahan diri
secara timbal balik dan juga suatu pembuahan manusiawi di dalam cinta yang
sejati”[9].
Walaupun ada
pandangan psikologis yang menyetujui masturbasi sebagai suatu cara ‘penyaluran’
dorongan seksual, namun Gereja tidak pernah membenarkan tindakan tersebut.
Masturbasi adalah tindakan didasari motif mengagungkan kenikmatan seksual di
atas segalanya, dan ini dapat beresiko menjadikan seseorang kecanduan seksual,
di mana seseorang menempatkan kenikmatan badani sebagai tuhannya.
Maka harus
dicari jalan yang positif untuk menyalurkan dorongan- dorongan seksual, agar
fokusnya bukan menyalurkan dorongan tersebut dengan melakukan aktivitas
seksual, tetapi mengarahkannya kepada aktivitas lain yang membangun tubuh dan
jiwa.
3.
Percabulan
KGK
2353 Percabulan adalah hubungan badan antara seorang pria dan
seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain. Ini adalah satu
pelanggaran besar terhadap martabat orang-orang ini dan terhadap seksualitas
manusia itu sendiri, yang dari kodratnya diarahkan kepada kebahagiaan suami
isteri serta kepada melahirkan keturunan dan pendidikan anak-anak. Selain itu
ia juga merupakan skandal berat, karena dengan demikian moral anak-anak muda
dirusakkan.
Termasuk di
sini adalah hidup bersama sebelum menikah, karena umumnya mereka yang
melakukannya mempunyai kecenderungan untuk melakukan dosa percabulan.
Percabulan ini juga tidak terbatas dengan tindakan nyata, sebab seseorang dapat
jatuh dalam dosa percabulan dengan pikirannya (lih. Mat 5:28; KGK 2528).
Bagaimana agar tidak jatuh dalam dosa percabulan sebelum menikah? Demikian
adalah anjuran dari Johann Christoph Arnold, dalam bukunya A Plea for
Purity:
“Pelukan
yang lama, saling bercumbu, ciuman bibir dan segala yang lain yang dapat
mendorong hasrat seksual harus dihindari. Hasrat untuk berdekatan secara fisik
antara sepasang kekasih adalah sesuatu yang wajar, namun daripada membangkitkan
hasrat seputar keintiman ini, pasangan tersebut harus memfokuskan diri untuk lebih
mengenal pasangan secara lebih akrab secara rohani, dan saling membangun kasih
kepada Yesus dan Gereja-Nya.” [10]
Ketika Tuhan
Yesus berbicara tentang percabulan di hati, maksudnya adalah seorang pria tidak
boleh memandang seorang wanita dengan nafsu. Paus Yohanes Paulus II mengatakan,
“Percabulan di hati dilakukan bukan hanya karena laki-laki melihat dengan cara
sedemikian kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, tetapi karena ia
melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan…. Meskipun laki- laki
itu melihat dengan cara sedemikian kepada perempuan yang adalah istrinya, ia
tetap melakukan percabulan di hatinya.” (TOB 43:2). Maka di sini Paus
mengajarkan bahwa hubungan suami istri tidak boleh direduksi artinya hanya
sebagai pemuasan kebutuhan seksual, namun sebagai ungkapan kasih yang total
antara suami istri sesuai dengan kehendak Tuhan.
4.
Pornografi
KGK
2354 Pornografi mengambil persetubuhan yang sebenarnya atau
yang dibuat-buat dengan sengaja dan keintiman para pelaku dan menunjukkannya
kepada pihak ketiga. Ia menodai kemurnian, karena ia meyimpangkan makna
hubungan suami isteri, penyerahan diri yang intim antara suami dan isteri. Ia
sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang,
dan penonton), karena mereka ini menjadi obyek kenikmatan primitif dan sumber
keuntungan yang tidak diperbolehkan. Pornografi menenggelamkan semua yang
berperan di dalamnya dalam sebuah dunia semu. Ia adalah suatu pelangaran berat.
Pemerintah berkewajiban mencegah pengadaan dan penyebarluasan bahan-bahan
pornografi.
Sayangnya,
dewasa ini pornografi ini marak di mana- mana dan mudah diakses oleh kalangan
luas termasuk anak- anak. Diperlukan kehendak yang kuat dan konsistensi untuk
menolak pornografi.
5.
Prostitusi
KGK
2355 Prostitusi menodai martabat orang yang melakukannya dan
orang dengan demikian merendahkan diri sendiri dengan menjadikan diri obyek
kenikmatan semata-mata bagi orang lain. Siapa yang melakukannya, berdosa berat
terhadap diri sendiri; ia memutuskan hubungan dengan kemurnian yang telah ia
janjikan pada waktu Pembaptisan, dan menodai tubuhnya, kenisah Roh Kudus (Bdk.
1 Kor 6:15-20). Prostitusi adalah satu bencana untuk masyarakat. Sebagaimana,
biasa ia menyangkut para wanita, tetapi juga para pria, anak-anak, atau orang
muda (kedua kelompok terakhir melibatkan dosa tambahan karena penyesatan)…..
6. Perkosaan
KGK
2356 Perkosaan adalah satu pelanggaran dengan kekerasan dalam
keintiman seksual seorang manusia. Ia adalah pelanggaran terhadap keadilan dan
cinta kasih. Perkosaan adalah pelanggaran hak yang dimiliki setiap manusia atas
penghormatan, kebebasan, keutuhan fisik, dan jiwa. Ia menyebabkan kerusakan
besar, yang dapat membebani korban seumur hidup. Ia selalu merupakan suatu
perbuatan yang pada dasarnya/ dengan sendirinya jahat. Lebih buruk lagi,
apabila orang-tua atau para pendidik memperkosa anak-anak yang dipercayakan
kepada mereka.
7.
Homoseksualitas
KGK 2357
Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau
wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau
terutama, kepada orang sejenis kelamin….. Berdasarkan Kitab Suci yang
melukiskannya sebagai penyelewengan besar (Bdk.Kej 19:1-29; Rm 1:24-27; 1 Kor
6:10; 1 Tim 1:10) tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa “perbuatan
homoseksual itu sangat menyimpang”[11]. Perbuatan itu melawan hukum
kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan.
Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi
secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.
VII.
Bagaimana jika sudah terlanjur tidak murni?
Jika karena
satu dan lain hal, (entah karena ketidaktahuan, ataukah karena kesalahan)
seseorang tidak sepenuhnya menjalankan ajaran kemurnian di masa yang lalu,
janganlah berputus asa. Tuhan Yesus datang untuk mengampuni dosa- dosa manusia.
Asalkan ia dengan tulus menyesali segala dosa dan kesalahannya, maka Tuhan akan
mengampuninya. Seperti Yesus mengampuni perempuan yang berdosa (Maria
Magdalena), dan pengampunan ini mengubah kehidupan perempuan ini; Yesuspun
dapat mengampuni kita dan mengubah kehidupan kita. Alkitab mencatat, bahwa
kepada perempuan ini Tuhan Yesus menampakkan diri pada hari
kebangkitan-Nya. Semoga kitapun dapat menjadi saksi- saksi kebangkitan-Nya dan
karya penyelamatan-Nya dalam hidup kita.
Maka, kisah
pertobatan Maria Magdalena ini harus mendorong kita untuk bertobat; dan selalu
tidak ada kata terlambat untuk bertobat. Selanjutnya usahakanlah untuk menjaga
kemurnian ini, dan mengajarkannya kepada anak- anak kita; agar mereka dapat
mengetahui kabar gembira tentang kemurnian ini, dan melaksanakannya dalam
kehidupan mereka.
VIII.
Mengusahakan kemurnian tubuh dan jiwa secara praktis.
Berikut ini
adalah langkah- langkah praktis untuk mengusahakan kemurnian tubuh dan jiwa:
1. Mengenal
diri sendiri
Kita harus
mengenal diri sendiri, sehingga kita tahu di area mana kita harus memperbaiki
diri. Untuk itu, kita minta agar Roh Kudus menyingkapkan apa yang tersebunyi,
yang ada di dalam diri kita.
2. Mohon
rahmat Tuhan
Kita memohon
kepada Tuhan agar membersihkan hati kita dari pikiran- pikiran dan
kecenderungan yang tidak semestinya.
3. Melatih
pengendalian diri
Selanjutnya,
kita harus melatih pengendalian diri, dan mempraktekkan ajaran kemurnian ini,
dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
KGK 2530 Perjuangan melawan keinginan
daging terjadi melalui pembersihan hati dan latihan menjaga batas dalam segala
hal.
KGK 2532 Untuk pembersihan hati
dibutuhkan doa, mempraktekkan kemurnian, mempunyai maksud dan pandangan yang
murni.
Pedoman
praktis: jauhi segala kesempatan yang mendorong kita untuk berpikir atau
melakukan hal- hal yang tidak sopan. Jauhilah pembicaraan yang ‘nyerempet’ ke
arah hal yang porno. Carilah kesibukan yang lebih bermanfaat dan membangun.
4. Kemurnian
hati mensyaratkan sikap bersahaja (modesty):
KGK 2533 Kemurnian hati menuntut sikap
yang bersahaja, yang terdiri dari kesabaran, kerendahan hati, dan kehati-hatian
(discretion). Sikap yang bersahaja melindungi jati diri seseorang.
KGK 2522 Sikap bersahaja (modesty)
melindungi rahasia pribadi dan cinta kasihnya. Ia mengundang untuk bersabar dan
mengekang diri dalam hubungan cinta kasih. Sikap bersahaja mensyaratkan bahwa
prasyarat-prasyarat untuk ikatan definitif dan penyerahan timbal balik dari
suami dan isteri dipenuhi. Dalam sikap tersebut termasuk pula sikap kepantasan/
kelayakan. Ia mempengaruhi pemilihan busana. Ia diam atau menahan diri jika ada
resiko ingin tahu yang tidak sehat. Ia bijaksana dalam menghormati privacy orang
lain.
“Sikap yang
pantas dan bersahaja (modesty) dalam perkataan, perbuatan dan cara
berpakaian adalah sangat penting untuk menciptakan atmosfir yang cocok untuk
pertumbuhan kemurnian…. Orang tua perlu waspada sehingga mode- mode pakaian
yang tidak sopan dan sikap- sikap yang tidak pantas tidak melanggar keutuhan
sebuah rumah tangga, terutama karena salah penggunaan mass media.”[12]
IX.
Kesimpulan: Kemurnian = mengasihi dengan jiwa dan tubuh
Sebagai
mahluk yang diciptakan Tuhan sesuai dengan gambaran Allah, yang adalah Kasih,
manusia diciptakan untuk mengasihi. Maka setiap manusia diberi kemampuan oleh
Tuhan untuk mengasihi dengan memberikan dirinya dengan tulus, yang melibatkan
tubuh dan jiwa, dan inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya. Oleh
karena itu, seksualitas manusia adalah sesuatu yang baik, sebab manusia ber-
relasi satu sama lain dengan tubuhnya. Maka tujuan akhir seksualitas adalah
kasih, yaitu kasih yang melibatkan kegiatan memberi dan menerima.
Jadi, bagi
pasangan yang menuju jenjang perkawinan harus mempraktekkan kemurnian, sehingga
dapat menghormati pasangan dan mengasihi pasangan lebih dari sekedar tubuh
pasangan, namun terutama mengasihi pasangan sebagai seseorang / pribadi. Dengan
demikian, pasangan ini dapat saling mengenal satu sama lain, dapat saling
memberi dan menerima secara lebih mendalam dan spiritual.
Dalam
perkawinan, pemberian dan penerimaan kasih terjadi sedemikian rupa, sehingga
menggambarkan kasih yang total sebagaimana kasih Kristus kepada Gereja-Nya.
Hubungan kasih ini mengatasi hubungan kontrak ataupun perjanjian, sebab yang
mengikat adalah Kristus sendiri, yaitu ketika pasangan suami istri dipersatukan
oleh Allah untuk mengambil bagian di dalam kehidupan Allah sendiri, dan dalam
karya penciptaan-Nya. Oleh sebab itu hubungan suami istri memiliki makna luhur
dan suci, dan karena itu tidak dapat diartikan dan dilakukan sekehendak hati
manusia. Kebajikan kemurnian adalah segala upaya untuk menggunakan berkat
seksualitas sesuai dengan rencana Tuhan. Hanya dengan mempraktekkan kebajikan
kemurnian inilah maka kita dapat sungguh berbahagia.