December 19, 2021

RENUNGAN HARIAN, SENIN 10 JANUARI 2022

Kalender Liturgi Senin 10 Jan 2022

Warna Liturgi: Hijau


Bacaan I  1Sam 1:1-8
Ada seorang pria dari Ramataim-Zofim, dari pegunungan Efraim, namanya Elkana bin Yeroham bin Elihu bin Tohu bin Zuf, seorang Efraim. Ia mempunyai dua isteri: yang seorang bernama Hana, dan yang lain bernama Penina. Penina mempunyai anak, tetapi Hana tidak. Setiap tahun Elkana pergi meninggalkan kotanya untuk sujud menyembah Tuhan semesta alam dan mempersembahkan kurban kepada-Nya di Silo. Di sana yang menjabat imam Tuhan ialah kedua anak Eli, yakni Hofni dan Pinehas. Setiap kali Elkana mempersembahkan kurban, diberikannya kepada Penina, isterinya, dan kepada semua anaknya yang laki-laki dan perempuan masing-masing satu bagian. Tetapi Hana, yang sebenarnya lebih dikasihinya, hanya mendapat satu bagian juga, sebab Tuhan telah menutup kandungannya. Karena Tuhan telah menutup kandungan Hana,
Penina selalu menyakiti hatinya, supaya Hana gusar. Demikianlah terjadi dari tahun ke tahun. Setiap kali Elkana  pergi ke rumah Tuhan, Penina menyakiti hatinya, sehingga Hana menangis dan tidak mau makan. Lalu Elkana, suaminya, berkata kepada Hana, "Hana, mengapa engkau menangis?  Dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu daripada sepuluh anak laki-laki?"
Demikianlah sabda Tuhan.

Mazmur Tanggapan Mzm 116:12-13.14.17.18-19
Aku mempersembahkan kurban syukur kepada-Mu, ya Tuhan.
*Bagaimana akan kubalas kepada Tuhan segala kebajikan-Nya kepadaku? Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama Tuhan.
*Aku akan membayar nazarku kepada Tuhan di depan seluruh umat-Nya. Aku akan mempersembahkan kurban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama Tuhan.
*Aku akan membayar nazarku kepada Tuhan di depan seluruh umat-Nya, di pelataran rumah Tuhan, di tengah-tengahmu, ya Yerusalem.

Bait Pengantar Injil  Mrk 1:15
Kerajaan Allah sudah dekat.  Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.

Bacaan Injil  Mrk 1:14-20
Sesudah Yohanes Pembaptis ditangkap, datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah. Yesus memberitakan, "Waktunya telah genap. Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!"  Ketika Yesus sedang berjalan menyusur Danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. Yesus berkata kepada mereka, "Mari, ikutlah Aku, dan kalian akan Kujadikan penjala manusia."  Mereka segera meninggalkan jalanya, dan mengikuti Yesus. Dan setelah Yesus meneruskan perjalanan-Nya sedikit lagi, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes, saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus segera memanggil mereka dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, dalam perahu bersama orang-orang upahannya. Lalu mereka mengikuti Yesus.
Demikianlah sabda Tuhan. 
 

Renungan

Injil hari ini menjabarkan salah satu ajaran yang paling sulit ditiru, setidaknya itu menurutku. Yaitu bahwa Tuhan Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama, dan kemudian mereka segera meninggalkan pekerjaan mereka dan mengikuti Dia (lih. Mrk 1:16-18). Artinya, para murid itu, rela meninggalkan apa yang tadinya mereka pandang berharga, untuk mengikuti Yesus. Telah bertahun-tahun lamanya, kupikir bahwa panggilan ini hanyalah dapat dipenuhi oleh mereka yang meninggalkan segala-galanya untuk mengikuti Yesus, seperti para imam, biarawan dan biarawati. Mereka telah dengan sukarela meninggalkan keterikatan dengan dunia ini dengan mempersembahkan seluruh diri mereka kepada Tuhan. Kaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan yang mereka lakukan menjadi wujud nyata dari niat suci mereka untuk membaktikan diri bagi Kerajaan Allah, untuk “menjala manusia” dan membawa dunia ini kepada Tuhan. Maka dapat dikatakan, bahwa kaum religius yang menjalankan kehidupan panggilan mereka dengan sungguh-sungguh, tentu dengan lebih penuh menanggapi undangan Yesus ini. Namun panggilan untuk hidup kudus ini, ditujukan kepada semua orang, walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Kita sebagai kaum awam, juga dipanggil untuk mengikuti Yesus dengan meninggalkan keterikatan kita terhadap hal-hal duniawi. Bukankah Yesus juga mengatakan hal yang sama kepada seorang muda yang kaya (lih. Mrk 3:21)?  Tuhan Yesus meminta kepada kita semua yang ingin mengikuti-Nya agar melepaskan diri dari keterikatan terhadap “ke-aku-an” dan segala sesuatu yang kita miliki, agar kita dapat mengarahkan hati kepada hal-hal yang kekal. Jika kita melakukannya dengan benar, ini akan mempengaruhi cara pandang dan cara hidup kita sehari-hari. Kita akan berusaha untuk menjadi bijaksana dalam menggunakan segala yang ada pada kita sekarang ini —yaitu waktu, tenaga, bakat, harta milik, keinginan dst— untuk melakukan pesan Injil. Konsili Vatikan II mengajarkan, “Maka semua orang beriman Kristiani diajak untuk berjuang mengejar kekudusan  … mereka mempunyai kewajiban untuk berjuang dengan keras. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan- keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena penggunaan hal-hal duniawi dan keterikatan kepada kekayaan yang melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul kepada mereka yang menggunakan barang-barang duniawi ini: janganlah mereka menerima pengertian dunia, sebab dunia ini sebagaimana yang kita lihat, sedang/ akan berlalu (lih. 1Kor 7:31)” (Lumen Gentium 42).   Bagaimana kita melatih diri untuk menjadi tidak terikat dengan dunia ini? Ada banyak cara, tetapi marilah kita memulainya dari cara yang paling mudah dan yang sebenarnya sudah menjadi tradisi dalam kehidupan Gereja. Yaitu, dengan menjadikan setiap hari Jumat sebagai hari Tobat. Gereja telah sejak lama menjadikan setiap hari Jumat sepanjang tahun untuk menjadi hari di mana kita mengenangkan sengsara dan wafat Kristus demi menyelamatkan kita, dan kita diundang untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan- Nya itu, dengan melakukan matiraga dan amal kasih secara khusus pada hari itu. Kebiasaan yang paling umum adalah melakukan pantang daging, namun sesungguhnya juga bisa pantang yang lain yang kita sukai (lih. KHK, kan.1251), seperti kopi, sambal, cemilan, dst. Melihat kepada kehidupan umat Katolik di tanah air, sejujurnya kita akan tahu, betapa banyak dari kita yang mengabaikan ketentuan ini, entah karena tidak tahu ataupun sengaja melupakan. Padahal kebiasaan pantang ini, walaupun sederhana, namun sangat berguna untuk pertumbuhan rohani kita. Sebab, bagaimana mungkin kita berharap mempunyai jiwa seorang martir yang rela berkorban, jikalau untuk berkorban sedikit saja, kita enggan melakukannya? Ada yang mengatakan, “Ah, saya sudah biasa tak makan daging, jadi hari Jumat tak perlu pantang daging…” atau berbagai alasan lain. Tetapi mari kita dengan jujur memeriksa, jika memang kita dapat melakukannya, sudahkah kita mencoba untuk melakukannya? Dan kalau sudah, sudahkah kita melakukannya dengan lebih bersungguh-sungguh sesuai dengan maksudnya, yaitu sebagai tanda pertobatan kita, silih dan demi mengarahkan hati kita kepada hal-hal yang tidak akan berlalu?  Pantang setiap hari Jumat sepanjang tahun akan membantu kita semakin menghayati besarnya pengorbanan Kristus bagi kita, dan untuk mendorong kita senantiasa bertobat dan bertumbuh dalam amal kasih. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari “meninggalkan segala sesuatu” untuk mengikuti Kristus. Dari apa yang kita hemat dari pantang itu, kita berikan kepada saudara/i kita yang lebih membutuhkan. Amal yang lahir dari belas kasih, menurut St. Thomas Aquinas, “lebih berguna bagi orang yang melakukannya daripada bagi orang yang menerimanya. Sebab orang yang melakukan amal kasih menarik manfaat rohani dari perbuatannya, sedangkan mereka yang menerima amal orang itu, menerima hanya manfaat sementara” (Commentary on the 2Cor, 8,10). Marilah kita mengikuti jejak para murid Yesus itu, untuk mengejar apa yang dapat memberi manfaat yang kekal, bukan hanya pada apa yang memberi manfaat sementara.

Butir permenungan.

Terkadang kita mengalami apa yang disebut: sudah jatuh ditimpa tangga. Di kantor dimarahi bos, di jalan diserempet becak, di rumah diomelin suami atau istri kita. Atau kita jajan di rumah makan, sudah duitnya utang, eh makanan yang kita beli dan kita bawa pulang ternyata agak basi.  Mau kembali ke rumah tangga terlalu jauh, kalau makanan tidak dimakan sayang, padahal perut sudah lapar. Begitulah contoh penggalan pengalaman sehari-hari. Sering terjadi dalam hidup, pengalaman yang serba enak dan seolah tanpa penghiburan sama sekali.  Kita renungkan bacaan pertama, bagaimana Hana sungguh mengalami penderitaan dan kemalangan yang tak terhingga. Sebagai wanita ia tidak dapat memberikan anak kepada suaminya, Elkana. Penina istri Elkana yang lain dapat memberikan anak-anak. Lalu Penina terus menyakiti hati dan meremehkan Hana. Memang kita mesti membaca bacaan hingga perikop berikutnya, seperti akan dibacakan besok pagi.  Besok kita akan mendengarkan bagaimana doa Hana didengarkan Tuhan dan Hana akan melahirkan seorang bayi yang di kemudian hari akan menjadi seorang nabi besar, Samuel. Tetapi baik kalau kita berhenti pada perikop hari ini dulu. Hana sungguh mengalami kemalangan yang disebut: sudah jatuh ditimpa tangga itu.  Kita mesti menyadari bahwa bagian dari hidup yang tidak enak ialah tatkala kita harus menderita secara beruntun dan seolah tidak melihat cahaya terang. Saat itu kita hanya diminta untuk tetap tenang, sabar, dan banyak berdoa.  Rahmat dan karunia bukanlah usaha dan prestasi kita. Pada saat Tuhan akan menganugerahkan karunia, Dia akan mendatangi kita, seperti Yesuslah yang mendatangi dan memanggil para murid, dan bukan para calon murid yang menawar-nawarkan diri. Ini soal waktu, ini soal kepercayaan kepada penyelenggaraan ilahi. Kita serahkan saja keluh kesah, derita, dan beban kita pada Tuhan. Tuhan tahu apa yang mesti dibuat-Nya atas kita.  Dalam bacaan Injil, Segera setelah Yesus memulai karya-Nya di depan umum, Ia memanggil murid-murid untuk mengikuti Dia. Murid-murid itu kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang sederhana, tidak berpendidikan. Mereka dibimbing dan diberi pengajaran khusus, supaya kemudian hari mereka dapat membantu Dia. Sambil dibimbing, mereka diikutsertakan pula dalam pelayanan-Nya. Dengan demikian, mereka belajar sambil menyaksikan sendiri apa yang diperbuat Yesus sehingga di kemudian hari mereka dapat melakukan ”pekerjaan Yesus” sendiri.  Karena menyaksikan dan mengalami sendiri, dengan cepat mereka dapat menangkap dan melakukan apa yang dilakukan Yesus. Nyatanya, memang di kemudian hari mereka meneruskan pelayanan Yesus. Metode yang dipakai Yesus memang berbeda sekali dengan metode yang dipakai di kebanyakan seminari dan tempat pendidikan para calon imam dewasa ini; kebanyakan hanya mampu menghasilkan intelektual-intelektual belaka, bukan orang-orang yang berkuasa melakukan karya Allah dalam kuasa Roh Kudus dan menyentuh hati manusia yang memang rindu dan haus akan Tuhan. Mereka sering kali tidak tahu bagaimana menemukan Dia.  Bahkan, Paus Paulus VI mengatakan: ”Manusia dewasa ini lebih suka mendengarkan para saksi daripada pengajar, kecuali kalau pengajar itu juga saksi”. Yang dibutuhkan manusia dewasa ini sesungguhnya adalah insan-insan Allah,  yaitu orang-orang yang secara pribadi telah bertemu dengan Allah yang hidup dan yang—karenanya—mampu menghantar manusia yang kehausan untuk berjumpa dengan Allah yang hidup.

 

 

 

Kerajaan Allah sudah dekat.  Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.

0 komentar:

Post a Comment